Kamis, 25 April 2024
laku Pencabul Bocah Hingga Hamil dan Melahirkan Ditangkap Polsek Siak Hulu | Lagi, Satnarkoba Polres Kampar Tangkap Pelaku Narkoba di Kebun Sawit Desa Kualu | KPU Provinsi Riau Buka Sayembara Maskot dan Jingle Pemilihan Gubri-Wagubri 2024 | Rangkaian HUT ke-7 Tahun, SMSI Riau Gelar Workshop Publisher Rights Bersama Ketua Dewan Pers | Rangkaian HUT ke-7 Tahun, SMSI Riau Gelar Workshop ''Publisher | Cak Imin Nyatakan Kerja Sama dengan Prabowo di Pemerintahan Berikutnya
 
Religi
Belajar Kitab
Tasis At-Taqdis: Tuhan tak Dibatasi Arah

Religi - - Jumat, 12/05/2017 - 19:25:31 WIB

SULUHRIAU- Di antara persoalan yang ditegaskan kitab Asas At-Taqdis atau dikenal pula dengan judul Tasis At-Taqdis karya tokoh kenamaan yang hidup pada abad keenam Hijriyah, Fakhruddin ar-Razi, ialah ketidakterikatan Tuhan dalam arah ataupun bentuk.

Terdapat beberapa dalil logika yang disuguhkan sebelum ia mengutarakan dalildalil nash (Alquran dan hadis). Jika dilihat dari sisi logika, pada prinsipnya, akal tidak menolak jika zat Allah tidak berbentuk dan dibatasi arah. Ini didasarkan oleh sejumlah alasan.

Menurut ar-Razi, logika tidak menafikan jika dikatakan sebuah eksistensi itu tidak harus berada di satu sisi ataupun sisi lainnya. Sebuah benda tidak mesti terletak di salah satu arah dari enam arah yang ada.

Kemampuan akal untuk mengidentifikasi arah sangat terbatas. Jika tetap dipaksakan dalam kondisi yang sulit, saat lupa, misalnya, maka bisa dibayangkan jika hal itu akan mengurangi kelaikan zat Allah sebagai khalik.

Ar-Razi menyebutkan dalil nashyang menguatkan argumentasinya itu. Sederet ayat dianalisisnya sehingga mendukung pendapatnya yang menyatakan bahwasa nya Allah di luar sekat dan batas seperti yang berlaku bagi makhluk. Misalnya, ayat ke-225 dari surah al-Baqarah.

Dalam ayat yang berbunyi: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terusmenerus mengurus (makhluk-Nya). Kali mat terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), menurut ar-Razi, berarti Allah mam pu dan berkuasa tanpa bantuan makhluk.

Jika Allah berbentuk fisik laiknya makhluk, akan membutuhkan pertolongan dari pihak lain. Maka ini merupakan negasi dari sifat qayyum (Zat yang Berdiri Sendiri ).Jika tidak mandiri dan mampu memberikan manfaat bagi yang lain, membutuhkan tempat dan arah. Jika demikian, sifat qayyumtidak berlaku mutlak. Tentu, hal ini tidak sesuai dengan Allah.

Soal penafsiran ayat-ayat dan hadis mutasyabihat, ar-Razi menegaskan, setiap kelompok umat Islam pada prinsipnya sepakat teks tersebut harus ditakwilkan. Jika hal ini tidak dilakukan, justru akan menimbulkan pemahaman yang salah terhadap makna tekstualnya.

Contohnya, kata dia, dalam Alquran, banyak menyebutkan lafal wajah, muka, satu lengan, dan tangan yang banyak. Jika ditelan mentah-mentah, tidak bisa dibayangkan rupa dari orang yang memiliki kriteria fisik tersebut.

Logikanya, akal dan perasaan manusia sulit membayangkan dan menerima bentuk tubuh seperti itu, apalagi penggunaan katakata itu disandarkan kepada Zat Yang Maha Suci. Contoh lainnya, dalam beberapa ayat Alquran disebutkan kata-kata turun (nuzul).

Arti kata itu dalam konteks tertentu, tidak bisa dimaknakan tekstual. Dalam surah az-Zumar ayat 6, misalnya, Allah berfirman: Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Makna kata turun itu tafsirnya tidak berarti Allah menurunkan kedelapan ekor binatang ternak itu langsung dari langit menuju bumi.

Interpretasi ayat dan hadis dengan pola seperti itu juga berlaku dalam konteks penafsiran ayat mutasyabihatyang berkaitan dengan pemurnian zat Allah. Misalnya, penakwilan ayat ke-27 surah ar-Rahman: Dan, tetap kekal zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Wajah yang dimaksud bukanlah wajah dalam perspektif manusia; bagian tubuh terdepan yang terletak di kepala. Argumentasi ini berdiri atas berbagai dalil yang kuat.

Penguatannya merujuk antara lain pada ayat ke-88 dari surah al-Qashash. Dalam ayat itu ditegaskan secara tekstual, setiap segala sesuatu akan binasa, kecuali wajah-Nya. Jika mengacu pada penafsiran tekstual dengan mengartikan wajah sebagaimana yang dimiliki oleh manusia, didapatkan kesimpulan bahwa yang tersisa hanya raut muka, sedangkan bagian mata dan hidung, serta keseluruhan jasad akan turut binasa.

Ar-Razi pun lantas menyayangkan penafsiran literalis ini masih dipakai oleh sebagian kalangan yang menganut konsep tasybih (penyerupaan). Dalam pandangan Ar-Razi, kata wajah bisa diartikan kadang kala bermakna zat dan adakalanya pula bisa dimaknai dengan keridaan. Berlaku dalam kaidah dan penggunaan bahasa, pemakaian majas perbandingan. Kata wajah dipergunakan untuk merepresentasikan eksistensi zat secara keseluruhan.

Sumber: Republika.co.id






 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved