Jum'at, 29 Maret 2024
Safari Ramadhan, Komut Beri Apresiasi Kinerja PLN Icon Plus SBU Sumbagteng | 303 Akademisi Ajukan Amicus Curiae, Minta MK Adil di Sengketa Pilpres | Nekat Bobol Warung, Seorang Remaja Tertangkap Warga dan Diserahkan ke Polsek Siak Hulu | Koramil 02 Rambah Kodim 0313/KPR Rohul Berbagi Takjil pada Masyarakat | Tak Patut Ditiru, Viral Video Pungli Trotoar untuk Hindari Kemacetan | Nuzul Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
 
Religi
Mengenal Lebih Dalam Dakwah Digital Ustadz Abdul Somad asal Riau [2]

Religi - - Minggu, 19/11/2017 - 11:22:41 WIB

SULUHRIAU- Dalam salah satu videonya, Abdul Somad pernah bertekad sekembalinya ke Indonesia, akan banyak buat buku terkait hadist. Apa daya, waktunya kemudian kadang habis menjelaskan khilafiyah furuiyah dari mulai celana isbal, kewajiban qunut, tahlilan, dan banyak lagi.

"Saya klarifikasi, tapi saya tak habiskan waktu untuk itu, cukup sekali. Melalui teks sekali, video sekali. Alhamdulillah-nya, kawan seperti Ustadz Abdul Hadrami, Ustadz Oemar Mita, ikut bantu menjelaskan sehingga saya tinggal posting pernyataan mereka," sambungnya.

Baginya, situasi ini menjadi tantangan dakwah mutakhir di Indonesia. Satu manhaj cenderung menjelekkan dan mencari titik lemah, bukan saling mengisi. Namun sebagai lulusan Timur Tengah, dia faham jika ada agenda pesanan semacam itu sudah biasa terjadi, sehingga bukan sesuatu yang menurutnya luar biasa.

Justru, kata dia, dengan keberlimpahan media digital saat ini, terutama jejaring sosial Youtube, sebetulnya sedang terjadi proses pengambilan dalil dengan komparasi banyak ayat seperti dilakukan para begawan sekaliber Imam Syafi'i dan Imam Nawawi.

"Masyarakat sekarang melihat ceramah yang putih, hitam, abu, ini sama dulu himpun banyak ayat sebelum tentukan dalil. Maka masyarakat pun akan lihat video yang satu dengan lainnya, Insya Allah ummat makin cerdas," katanya.

Hal menarik lain adalah bahwa Ustadz Somad, sapaan lainnya, tak pernah secara khusus belajar komunikasi publik dakwah dan syiar. Saat kuliah di Mesir sejak 1998, sama sekali tak pernah ceramah.

"Waktu S2 di Maroko, sesekali saja mengisi ceramah dan khutbah Jum'at di KBRI. Begitu pulang ke Indonesia tahun 2008, di Pekanbaru, kita berguru [cara dakwah] kepada Ustadz Dr. Mustafa Umar, LC, MA, dan Ustadz Mawardi M. Saleh," katanya.

Kesempatan isi tausyiah rutin kepadanya terjadi di Mesjid Raya An-Nur Pekanbaru, manakala Dr. Mustafa Umar memiliki jadwal isi ceramah di Pekanbaru dua pekan dan dua pekan berikutnya di Malaysia.

Dia diwariskan kebiasaan Ustadz Dr. Mustafa Umar yang selalu mendokumentasikan ceramah tafsir Qur'an-nya di mesjid tersebut sejak awal. Seniornya tersebut berpikiran ke depan, karena ingin membuat tafsir qur'an namun berbentuk video.

Mau tak mau, ketika UAS menggantikan jadwal, rekaman pun terjadi jauh sebelum memuncaknya platform media sosial (Youtube, Instagram, dan Facebook) seperti pada saat ini. Tidak dikhususkan untuk sekarang, bahkan bahan sudah banyak tersedia sekalipun viralitas baru terjadi beberapa saat terakhir.

"Jadi video ini (dibuat) tidak khusus generasi milenial. Tapi ini bukti validnya ayat Qur'an bahwa dakwah harus billisani qoumihi, menggunakan bahasa kaum-mu. Bahasa kaum di Indonesia sekarang yang efektif mungkin video, youtube. Dan ini sangat produktif, betapa banyak santri tanpa pesantren, atau orang yang dulu malas ke mesjid, tergugah dengan video dakwah saya," sambungnya.

Baginya, semua gaya public speaking-nya berjalan natural. Tak dibuat-dibuat, tak pula menyamakan dengan seseorang, atau merujuk sejumlah video ustadz lainnya yang kerap dilihatnya yakni Buya Yahya, Ustadz Idrus Romli, dan Ustadz Adi Hidayat.

Gaya bicara tak satupun yang dia tiru, namun gaya orasi ini diakuinya ada wasilah tetesan gen dari kakeknya, Datuk Zakaria. Di kampung mesjid, hingga akhir hayatnya, sang kakek konsisten menjadi khatib jum'at di sela tugas keseharian sebagai petugas pencatat pernikahan.

Maka itu, dengan situasi yang dibawakannya sekarang yakni dakwah digital memikat, maka dalam hemat penulis, konten komunikasi publik UAS akan makin sering menjumpai masyarakat Indonesia. Artinya, dalam waktu bersamaan, popularitasnya otomatis makin menanjak.

Di mata dosen UIN Sultan Syarif Kasim, Riau ini, popularitas bukan hal menakutkan. Ada berkah, namun bisa jadi musibah. Tapi selama kita punya kemampuan mengatur ini semua, maka popularitas takkan pernah merugikan.

"Kalau karena popularitas maka kita punya jadwal misal sampai di 10 televisi hingga tak bisa bergerak kemana-mana, itu kita perlu intropeksi. Ini mau syiar atau mau menonjolkan diri sendiri? Apa yang mau dicari dari hidup ini?" katanya, balik bertanya. Semoga diberkahi istiqomah dan kesehatan selalu, UAS.


Muhammad Sufyan Abdurrahman
Dosen Digital Public Relations Telkom University






 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved