Kamis, 25 April 2024
Polisi Gerebek Bandar Narkoba Kampung Dalam, Ada yang Mencebur ke Sungai dan Satu Orang Diamankan | Ketua LPTQ: Pekanbaru Berpeluang Besar Raih Juara Umum di MTQ ke-42 Tingkat Provinsi Riau | Tak Kantongi Izin, Disperindag Pekanbaru Segel Dua Gudang di Komplek Pergudangan Avian | laku Pencabul Bocah Hingga Hamil dan Melahirkan Ditangkap Polsek Siak Hulu | Lagi, Satnarkoba Polres Kampar Tangkap Pelaku Narkoba di Kebun Sawit Desa Kualu | KPU Provinsi Riau Buka Sayembara Maskot dan Jingle Pemilihan Gubri-Wagubri 2024
 
Religi
Tela'ah
Kapan Istilah Salafi Wahabi Mulai Digunakan?

Religi - - Kamis, 28/11/2019 - 13:10:09 WIB

KITA sering kali melakukan stereotyping dan generalisasi, menganggap semua yang berjenggot dan memiliki tanda hitam pada dahi adalah seorang salafi atau wahabi.

Begitu juga dengan orang-orang yang menggunakan celana cingkrang (tidak isbal), terkadang kita tidak ragu mencela mereka dengan sebutan salafi atau wahabi hanya karena celana yang mereka gunakan.

Sebelum kita melakukan tindakan-tindakan yang kurang baik dengan istilah “salafi wahabi” ini kita perlu mengetahui apa definisinya dan kapan istilah tersebut mulai digunakan.

Salafi secara bahasa menurut Ibn Mandzur berakar pada kata “salafa” (سلف) yang berarti “Madha” atau lampau. Sedangkan jika kata ini dirangkai dengan kata qaum, misalnya, maka akan berarti “al-mutaqaddimin”, yaitu kaum terdahulu.

ʽAbd Allah ibn ʽAbd al-Ḥamid al-Atsari, salah satu tokoh salafi Arab Saudi menyebutkan bahwa penyebutan salaf mengindikasikan kembali kepada tiga zaman pertama Islam (tsalatsah al-qurun al-awail), yang meliputi zaman sahabat, tabiʽin dan tabiʽit al tabiʽin.
Orang-orang yang hidup pada tiga masa awal ini diyakini sebagai kelompok pengikut sunnah dan menjauhi bid’ah. Tiga kelompok masa inilah yang disebut sebagai al-Salaf al-Shaliḥ.

Penyebutan ini terinpirasi dari sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhari yang menyebutkan,

خير أمتي قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
“Sebaik-baiknya umatku adalah yang hidup semasa dengan abadku, lalu abad setelahku lalu abad setelahnya.” (Muḥammad ibn Ismaʽil al-Bukhari,al-Jamiʽ al-Shaḥiḥ, (Beirut: Dar ṭuq al-Najat, 1422), j. 9, h. 180.)

Semangat untuk mengikuti “generasi emas” inilah yang oleh Arrazy Hasyim dalam Teologi Muslim Puritan, disebut sebagai sebab yang melahirkan religius yang khas, yaitu semua aspek keagamaan meliputi teologi, fikih, kaedah berfikir, berpakaian, dan atribut-atribut keseharian harus mengikuti tuntunan yang disebut “Manhaj Salaf”.
Hal inilah yang menjadikan pembacaan mereka atas sebuah teks menjadi tekstualis dan mengabaikan konteks yang melatarbelakangi kemunculan teks tersebut.

Sedangkan Wahabi adalah nisbah kepada Muhammad bin Abdul Wahab yang merupakan salah satu pengikut Ibn Taymiyah (w. 728 H). Muhammad bin Abdul Wahab sendiri merupakan salah satu ulama yang terpengaruh dengan pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyah, yang salah satunya terdapat dalam kitabnya yang berjudul Ighatsat al-Lahafan.

Kitab ini berbicara panjang tentang penghancuran bangunan di atas kuburan, seperti kubah, atap, bahkan masjid di atasnya. Ibn al-Qayyim terinspirasi dari perintah Nabi Saw. yang memerintahkan untuk menghancurkan kuburan yang ditinggikan, apalagi bangunan di atasnya. Hal ini dinilai sama oleh Ibn al-Qayyim dengan pengahancuran Nabi SAW. atas masjid Dhirar.

Pemikiran Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang meresahkan masyarakat ini lah yang menjadikannya berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain, hingga ia sampai pada kota Darʽiyah dan kenal akrab dengan Abd Allah ibn ʽAbd al-Raḥman Sulaym yang memiliki akses kepada Ibn Suʽud.

Singkat cerita, ketika Ibn Suʽud mendirikan negara alu Suʽud atau Saudi Arabia yang didukung oleh pemikiran Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Kekuasaan inilah yang menyebarkan ideologi purifikasi Muhammad ibn Abd al-Wahhab.

Lalu apa hubungan salafi dengan wahabi? Menurut Arrazy, keduanya sama-sama memiliki semangat purifikasi yang sama. Namun bukan berarti keduanya berbeda, justeru kesamaan purifikasi ini dilandasi oleh alur sejarah dan genealogi yang sama.

Arrazy Hasyim menyebutkan bahwa ada dua ulama yang berjasa dalam mengenalkan term salafi dan wahabi. Pertama adalah Muhammad Zaini Dahlan (1304 H.), salah satu ulama Mekkah yang menulis kitab Al-Durar al-Saniyyah fi al-Rad ʽala Wahhabiyah dan Fitnah al-Wahhabiyah yang menjelaskan tentang fakta pembunuhan yang dilakukan oleh Laskar Wahhabi. Kedua adalah Rasyid Ridha (1354 H.) yang menulis al-Wahhabiyun wa al-Hijaz.

Dalam artikel tersebut, Rasyid Ridha membela wahabi yang disebut sering mendapat tuduhan terkait sikap takfir dan tadlil. Menurutnya, ketika ajaran Muhammad ibn Abd al-Wahhab masuk ke kota Mekkah oleh puteranya, Abd Allah, dijelaskan kepada para ulama bahwa ajaran tersebut sesuai manhaj Salaf.
Terlepas dari mana yang benar antara keduanya, Arrazy menilai bahwa keduanyalah yang berperan penting dalam memopulerkan istilah wahabi, selain term salafi yang juga ikut dipopulerkan oleh Rasyid Ridha. Namun belakangan ini, istilah Wahabi lebih identik bahkan melebur dalam term Salafi, bahkan beberapa orang lebih suka mengaku sebagai Salafi dan tidak suka disebut Wahabi.

Sebelum Rasyid Ridha, term Salaf telah sering diulang-ulang oleh Ibn Taymiyah. Dalam kitab kecilnya yang berjudul Iqtida’ al-Shirat al-Mushtaqim, ditemukan penyebutan kata salaf sebanyak empat puluh kali.
Sebagai kitab kecil, penyebutan tersebut tergolong banyak, bahkan Ibn Taymiyah berulang kali menyebutkan bahwa pendapatnya sesuai dengan kaul salaf.

Tidak hanya dalam kitab tersebut, Ibn Taymiyah juga sering menyebut kata salaf dalam karya-karyanya yang lain. Penyebutan kata salaf ini juga sering dilakukan oleh murid setia Ibn Taymiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (751 H.).

Dalam kitabnya yang berjudul A’lam al-Muwaqqiʽin, Ibn Qayyim menyebutkan kata salaf sebanyak tujuh puluh kali.

Pada abad 20an, term salaf kembali dipopulerkan oleh ʽAbd al-Aziz ibn Baz (1990 M.), al-Albani (1991 M.), Rabiʽ ibn al-Hadi al-Madkhali dan lainnya. Ibn Baz justeru pernah memberikan saran kepada orang yang mengaku sebagai salafi tapi tidak mau disebut sebagai Wahabi. Ibn Baz lah yang memopulerkan istilah Salafi Wahabi sehingga seolah-olah tidak ada pembatas antara Salafi dan Wahabi, Salafi adalah Wahabi, begitupun juga sebaliknya.

Hal ini juga dilakukan oleh al-Albani yang disebut lebih tegas dari pada Ibn Baz, bahkan ia mencaci maki setiap orang yang dinilai berbeda dengan pendapat generasi terdahulu. Salafi dalam model ini disebut Henry Lauziere sebagai golongan yang berbeda dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang cenderung moderenis, salafi ala Ibn Baz dan al-Albani ini tergolong sebagai purist Salafi (Salafi murni). Wallahu a’lam.


Islami.co [M. Alvin Nur Choironi]
Editor: Jandri





 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved