Jum'at, 29 Maret 2024
Menguak Misteri Lailatul Qadar | Safari Ramadhan, Komut Beri Apresiasi Kinerja PLN Icon Plus SBU Sumbagteng | 303 Akademisi Ajukan Amicus Curiae, Minta MK Adil di Sengketa Pilpres | Nekat Bobol Warung, Seorang Remaja Tertangkap Warga dan Diserahkan ke Polsek Siak Hulu | Koramil 02 Rambah Kodim 0313/KPR Rohul Berbagi Takjil pada Masyarakat | Tak Patut Ditiru, Viral Video Pungli Trotoar untuk Hindari Kemacetan
 
Sosial Budaya
Organisasi Pers Tolak Omnibus Law, Kami Akan Melawan

Sosial Budaya - - Selasa, 18/02/2020 - 22:52:00 WIB

SULUHRIAU - Dewan Pers bersama organisasi pers yakni, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers  yang terdiri dari AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers menyatakan menolak dua pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Dua pasal itu  dianggap akan membahayakan independensi pers dengan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.

E"Sekali lagi ini bukan persoalan eksklusif, kita hanya bicara omnibus law hanya kaitan dengan pers, tapi sekali lagi ya, inilah yang memang menjadi persoalan terkait dengan apa yang dibahas," kata Ketua Komisi Hukumes dan Perundang- undangan Dewan Pers  M. Agung Dharmajaya, Selasa 18 Februari 2020.

Adapun dua pasal yang dikecam tersebut adalah Pasal 11 yang menyatakan: Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

"Kami juga tidak terlalu melihat urgensinya. Karena pasal yang awal kan penambahan modal asing dilakukan pasar modal, selama ini dilakukan. Pemerintah mengubah jadi ada tanda tanya sendiri, karena pemerintah memasukan klausul pemerintah pusat," ujar Ketua Umum AJI, Abdul Manan.

Sedangkan pasal 18 ayat (1) menyatakan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.

"Ini juga diperparah pemerintah naikan sanksi denda dari Rp500 juta jadi Rp2 miliar. Kami mempertanyakan apa urgensinya. Karena sanksi denda itu instrumen penghukuman. Kita mendorong kalau ada sengketa pers tindak pidana. Kalau mau perdata. Itu pun mendorong memberikan sanksi denda yang proporsional, bukan yang semangatnya membangkrutkan," papar Manan.

Selain itu Ketua dewan pertimbangan IJTI Imam Wahyudi mengingatkan undang undang pers yang ada saat ini merupakan buah dari reformasi dan dibuat dalam banyak tekanan sisa orde baru.

"Jangan sampai pemerintah sekarang yang lahir dari rahim reformasi kemudian memutar balik sejarah itu. Sehingga kita masuk lagi rezim pers otoriter. Jangan. Masyarakat jangan biarkan itu dan kami tidak  akan biarkan. Kami akan melawan seandainya itu terjadi. Tapi kami percaya yang terjadi adalah keteledoran atau khilaf sehingga kalimat itu masuk di sana, mudah mudah nanti pembahasan di DPR tidak muncul lagi," kata Wahyudi. (slt)





 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved