Kamis, 09 Mei 2024
Silaturrahim Syawal 1445 H Muhammadiyah Riau, Prof. Dr H Abdul Mu'ti | AstraZeneca Tarik Besar-besaran Vaksin Covid Buatannya, Ada Apa? | Beralih Pengelolaan dari Dishub ke Disperindag, Tarif Parkir Pasar Tradisional Turun Jadi Rp1.000 | Torehkan Prestasi Tingkat Kepercayaan Publik, Dirlantas Polda Riau Raih Presisi Award dari Lemkapi | Mertua Temukan Menantu Tergantung Sudah tak Bernyawa di Kamarnya | Kembalikan Formulir ke NasDem, Nasir Day: Terpanggil Pimpin Pekanbaru
 
Sosial Budaya
Catatan Tokoh
Peci Tanda Islam?

Sosial Budaya - - Kamis, 10/09/2020 - 08:20:37 WIB
Tokoh Desa Alampanjang; Hasan Basri Djamil (Foto: dok.suluhriau.com)
TERKAIT:

SULUHRIAU- Sekitar tahun 1963, saya tengah semangat semangatnya membangun negeri (Rumbio-Kampar) dan sekitarnya. Bukan hanya di bidang pendidikan-karena memang pendidikan profesi saya.

Melainkan juga dibidang agama. Bagaimana upaya agar masyarakat  meningkatkan pemahaman agama.
Masa itu panatisme tokoh-tokoh Islam, khusunya yang tergabung dalam Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) cukup kuat.

Satu saat saya pernah dikritik ketika saya baru mengajar di SMPN Air Tiris. Mulanya saya memang dipuji tokoh-tokoh itu, tetapi pujian berbalik cemeehan dan kritikan.

Saya pernah dikatakan, seorang guru yang tidak Islam oleh orang-orang sebagai tokoh Perti itu dengan mengatakan, saya tidak konsisten sebagai seorang Islam, dengan hanya hal yang sepele.

Saya masih ingat, pertama saya dikenali para tokoh-tokoh Perti yang berbasis di Air Tiris seorang guru yang Islami, karena saya memakai kupiah hitam keman-mana. Namun, suatu ketika saya terpaksa tidak pakai kupiah, lantaran kupiah basah oleh hujan dan beludrunya kusut sperti bulu kucing, sehingga tidak bisa saya pakai.

Lalu, dalam sebuah pertemuan yang kami taja bersama teman-teman guru untuk kemajuan pendidikan, saya saat itu dikritik habis-habisan oleh tokoh Perti (maaf tidak sebutkan namanya, ada di redaksi-red) dan beberapa tokoh Perti lainnya.

Para tokoh itu mengatakan,"Ongku ada salahnya, tak tampak tanda-tanda Islam sama Ogku. Kemarin berkupiah kemana-mana, sekarang ditanggalkan lagi", sergah tokoh Perti itu.

Mendengar kata-kata itu, saya menangkis pernyataan para tokoh itu. Saya katakan dengan tegas dan lugas, kalau kopiah atau peci dianggap sebagai ukuran keislaman seseorang, sungguh sangat dangkal pemahaman seorang Muslim terhadap agama.

Lalu saya ilustrasikan, "Kalau begitu bapak-bapak bisa kadang kafir kadang Islam. Saat bapak salat dengan memakai peci, bapak Islam. Tapi ketika bapak mandi, tidur dengan peci terbuka, bapak-bapak sedang kafir,". Memang pernyataan itu agak keras kedengatannya. Mendengar jawaban saya itu, Tokoh Perti tersebut terdiam.

Pertemuan yang kami taja tersebut, dijadikan pula sebagai kesempatan untuk membentuk Organisasi Badan Kerjasama Sekolah Menengah (BKSM) Kecamatan Kampar. Saya dipercayakan sebagai Ketua BKSM itu. Melalui, organisasi yang terbentuk itu pula sebagai pintu masuk saya untuk lebih banyak bergaul dengan tokoh-tokoh masyarakat termasuk pentolan-pentolan Perti  di Air Tiris khususnya dan Kabupaten Kampar umumnya. Sejak itu, saya bergaul dengan tokoh-tokoh Perti, serperti Buya Abdullah Sani, Latif Atar dan Malik Yahya.

Melalui organisasi itu juga, bayak kegiatan keagamaan yang saya buat untuk kemajuan pendidikan agama anak-anak di Kampar. Seperti mengharuskan anak-anak SMP untuk shalat Jumat setiap hari Jumat.

Awalnya saya juga mendapat tantangan dari pengurus Mesjid Pasar Baru Air Tiris yang kebetulan saat itu saya menjabat Kepala Sekolah SMP Air Tiris tahun 1963.

Masalah bermula, ketika hari Jumat itu, ketika anak-anak SMP masuk mesjid untuk Jumatan, memenuhi shaf dari depan hingga ke belakang. Begitu masuk pengurus mesjid itu (maaf tak dosebutkan namanya, ada di redaksi-red), lantas marah dan mengusir anak-anak ke belakang, hingga meminta supaya anak-anak itu keluar. Alasanya sepele, karena dinilai anak SMP itu masih kecil dan dianggap akan merusak shaf shalat.

Tapi menurut saya anak-anak usia SMP itu sudah harus disuruh shalat, sebagaimana anjuran agama, yang usia 10 tahun ke atas kalau tidak shalat bahkan Rasul menganjurkan dipukul.

Saat itu kebetulan saya dipercaya pula sebagai khatib. Maka dalam khutbah saya singgung, tentang adab di mesjid yang antara lain, bahwa siapa saja yang lebih dulu masuk mesjid dialah yang berhak mendapat shaf terdepan. Tidak mengenal status sosial dan usia, apakah yang tua atau yang muda.  Orang berpangkat dan tidak berpangkat, bisa di depan kalau yang bersangkutan duluan masuk mesjid, dan akan di belakang kalau terlambat. Siswa SMP itu sudah harus shalat sebagaimana orang dewasa.

Usai shalat, beberapa jamaah sempat mempertanyakan kepada saya tentang sah atau tidaknya shalat Jumat tersebut kalau anak-anak SMP memenuhi shaf depan. Dengan tegas saya jawab,  "Jika cukup syarat dan rukun  bagi yang shalat itu, shalat syah". Apalagi anak-anak setingkat SMP itu kata saya sudah baligh dan mereka sudah khitan. Kecuali anak yang belum berakal.

Dari fenomena itu, menurut saya megindikasikan begitu masih rendahnya pemahaman agama bagi masyarakat daerah yang dikenal dengan "Serambi Mekkah" saat itu. Itulah salah satu yang melatarbelakang untuk membuka kursus kependidikan guru agama (KPPGA) sekitar tahun 1963.

Sebab, akan percuma saja kalau Kampar dibilang, panatik agama, tapi tak mengerti agama. Melalui kursus itu saya dibantu teman-teman yang lain sebagai salah satu cara untuk mendalami agama.*** (Bersambung)

Dari Penuturan Tokoh Desa Alampanjang; Hasan Basri Djamil, BA (Diwawancara beberapa waktu lalu).

* Editor: Khairullah (Bermastutin di Pekanbaru)





 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved