Minggu, 28 April 2024
Pelaku Pembunuhan Wanita Tanpa Busana di Kampar Ditangkap, Ini Motifnya | 1.500 CJH Riau Ikuti Launching Senam Haji dan Launching Batik Haji | Sambut Tokoh-tokoh Kampar di Pekanbaru, Pj Bupati Dukung Bagholek Godang Masyarakat Kampar | Polsek Tambang Tangkap Pelaku Narkoba di Depan SPBU Rimbo Panjang | Mantan Bupati Inhil Indra Muchlis Adnan Meninggal Dunia, Pj Gubri Sampaikan Ucapan Duka | Kapolda Riau M Iqbal: Jangan Ada Lagi Diksi Kampung Narkoba di Pekanbaru, Sikat Habis!
 
Kesehatan
Inilah Alasan Mengapa Banyak Orang Masih Percaya Hoax COVID-19

Kesehatan - - Minggu, 04/07/2021 - 10:36:52 WIB

SULUHRIAU- Dua minggu yang lalu, Gusman Suherman kehilangan ayahnya yang tertular COVID-19.

Komedian yang tinggal di Bandung, Jawa Barat tersebut mengatakan ayahnya termakan oleh hoaks.

"Almarhum bapak kemakan hoaks yang katanya kalau ke rumah sakit akan di-Covid-kan," kata Gusman.

"Efeknya ketika sakit, beliau enggak mau dibawa ke rumah sakit padahal kondisinya sudah lumayan buruk," kata Gusman yang juga 'podcaster' untuk 'Belagu Podcast'.

Gusman tahu kalau banyak informasi yang salah soal COVID, termasuk teori konspirasi yang beredar.

Awalnya ia tidak peduli jika ada yang percaya soal teori konspirasi. Tapi kini ia menjadi khawatir.

"Saya khawatir kalau informasi ini sampai ke orang-orang yang malas mencari tahu kebenaran atau membaca, seperti grup di WhatsApp," ujarnya kepada ABC Indonesia.

"Kemungkinan mereka untuk mencari informasi tandingan agak sulit … jadinya menelan bulat-bulat informasi yang terima di WhatsApp."

"Kasihan kalau informasi itu sampai ke orang seperti bapak saya ... gara-gara ada misinformasi takutnya tidak memaksimalkan ikhtiar dan malah jadi merugikan."

Hilangnya kepercayaan publik

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia mencatat 1.723 sebaran hoaks menyangkut soal vaksin dan COVID-19 sepanjang Januari hingga Juni 2021 di berbagai platform media sosial, terbanyak ditemukan di Facebook.

Menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute, teori konspirasi global COVID-19, seringkali dikaitkan dengan sentimen anti-vaksin, anti Pemerintah Indonesia dan anti-China.

Penelitian yang berfokus pada pengguna TikTok di Indonesia tersebut juga menemukan kebanyakan pesan disebarkan oleh mikro-influencer keagamaan.

Dr Yatun Sastramidjaja, salah satu penulis laporan tersebut, mengatakan tren ini mengkhawatirkan.

"Alasan pertama, karena menunjukkan kegagalan kronis Pemerintah untuk mendapatkan kepercayaan publik," jelas Dr Yatun yang juga asisten profesor di University of Amsterdam.

“Ada [juga] ketidakpercayaan yang sudah lama soal motif pemerintah, yang terlihat memprioritaskan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat umum."

"Kedua, dalam iklim ketidakpercayaan, kebingungan, dan ketakutan yang berkembang, mikro-influencer religius dapat menawarkan rasa perlindungan kepada pengikut mereka, dengan cara memelihara keyakinan pada kekuatan agama yang melindungi dan rencana yang lebih besar dari Yang Mahakuasa."

Yanuar Nugroho, sosiolog di ISEAS menilai kondisi masyarakat yang rentan terhadap disinformasi salah satunya karena persepsi soal risiko di kepala masyarakat soal pandemi tidak terbentuk.

Menurutnya, di masa krisis seperti saat ini, Pemerintah bertanggung jawab menyampaikan persepsi risiko karena akan menentukan bagaimana masyarakat bersikap menghadapi virus corona.

"Mixed messages [pesan yang berbeda] itu enggak boleh. Kesalahan paling fatal pertama dari Pemerintah adalah bahwa pesan yang disampaikan ambigu, bahkan sampai detik ini."

Yanuar mencontohkan, pemerintah melarang mudik tetapi memperbolehkan warga ke tempat-tempat wisata.

"Atau imbauan jangan traveling dulu, tapi sekarang Garuda membuat promo: Terbang dengan Garuda, dapatkan vaksinasi gratis."

"Ini menurutku menunjukkan ketidakmampuan Pemerintah membangun persepsi risiko."

Menurutnya pesan yang berbeda-beda ini disebabkan karena Pemerintah sendiri tidak punya pemahaman, persepsi, dan satu suara tentang pandemi.

"Tentu saja ada banyak faksi di pemerintah, tapi tidak bisa tidak, dalam keadaan segenting ini, pemerintah perlu punya persepsi tunggal," katanya.

Kondisi yang dihadapi Indonesia saat ini, menurut Yanuar, adalah gabungan antara ketaatan masyarakat pada protokol kesehatan yang rendah dan pemerintah yang terus-menerus terlihat ragu, tidak bisa mengambil sikap, antara mendahulukan kesehatan atau ekonomi, atau politik.

Tak merasa sedang ada krisis

Epidemiolog Universitas Indonesia, Dr Pandu Riono menggunakan istilah yang lain.

Ia menyebut bahwa alih-alih mencapai 'herd immunity', Indonesia sudah mencapai 'herd stupidity'.

 "Istilah herd stupidity itu bermula ketika saya mengomentari orang yang mau mudik, enggak dilarang oleh pemerintah, masyarakatnya juga enjoy aja, malah pulang duluan, ada mudik tahap pertama, ada mudik yang gampang, yang susah, itu semua terjadi," kata Dr Pandu kepada ABC.

"Itulah herd stupidity, enggak ada yang punya perhatian atau sense of crisis."

Dr Pandu juga menyebut Pemerintah Indonesia tidak belajar, tidak mau belajar dan tidak mau mendengar pendapat para ahli dan pakar kesehatan masyarakat.

Menurut Dr Pandu, tidak tertutup kemungkinan 'stupidity' atau kebodohan ini juga terjadi di kalangan akademik.

"Kita itu ingin keajaiban, sampai mau dibohongi atau mau dibujuk untuk menggunakan obat cacing sebagai obat COVID, ini termasuk pejabat pemerintah yang mudah dibohongi dan malah meng-endorse obat cacing ini. Itu kan stupidity," tutur Dr Pandu.

Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Indonesia, Profesor Wiku Adisasmito menanggapi istilah 'herd stupidity' tersebut kepada ABC Indonesia.

"Kita perlu bersatu untuk melawan COVID-19," tegas Profesor Wiku.

"Kalaupun ada yang dinilai stupid, siapa yang dinilai pintar dalam menanganinya?" ujarnya kepada Hellena Souisa.

Profesor Wiku mengatakan Pemerintah Indonesia telah melakukan yang terbaik dan bertanggung jawab atas situasi pandemi COVID-19 saat ini.

Gusman mengatakan istilah 'herd stupidity' sebenarnya sedikit 'jahat', namun di satu sisi ia setuju.

"Setuju enggak setuju, tapi setujunya mungkin karena beberapa kalangan memang sudah bebal," ujarnya.

"Tapi untuk beberapa kalangan yang tidak percaya dengan COVID gara-gara ekonomi terdesak, saya juga tidak bisa menyalahkan mereka."

Kini telah kehilangan sang ayah, Gusman berharap agar orang-orang tidak langsung menyebarkan informasi yang belum tentu benar.

"Ketika ada informasi sampai, jangan ditelan bulat-bulat, jangan serta merta diyakini jika itu adalah kebenaran yang mutlak, harus dicari beberapa sumber," ujarnya.

"Tapi kalau memang malas buat mencari apakah info itu benar atau tidak, ya sudah jangan langsung diyakini atau disebarkan dulu."

"Simpan buat diri sendiri dulu saja."

Sumber: viva.co.id, abc.net.au    
Editor: Jandri







 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved