Senin, 06 Mei 2024
Mulai 8 Mei 2024 KPU Riau Terima Penyampaian Dukungan Calon Perseorangan | Sakit Hati Tak Beri Tahu Jual Tanah Orangtua, Adik Bacok Leher Abang Kandung dengan Parang | Genre Natuna Terbaik di Kepri, Wan Siswandi: Saya akan Terus Dukung Putra-putri Daerah Berprestasi | Jepang Juara Piala Asia U23 2024, Putus Rekor Uzbekistan | DPD PKS Pekanbaru Rekomendasikan DR Muhammad Ikhsan Balon Walikota ke DPP | KPU Riau Siap Mutakhirkan 4.854.034 DP4 untuk Pilkada 2024
 
Ekbis
Kata Apkasindo Ini Penyebab Anjloknya Harga Sawit Petani

Ekbis - - Jumat, 15/07/2022 - 14:48:06 WIB

SULUHRIAU, Pekanbaru - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengatakan, petani sawit Indonesia meminta pemerintah gunakan referensi harga CPO (Crude Palm Oil) Kementerian Perdagangan untuk menghitung harga TBS (Tandan Buah Sawit).

Ketua Umum Apkasindo, Dr Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA, menjelaskan penyebab anjloknya harga TBS Petani, selain beban terhadap CPO, seperti DMO (Domestic Market Obligation), DPO (Domestic Price Obligation), FO (Flush Out), serta PE (Pungutan Ekspor) dan BK (Bea Keluar), juga akibat rujukan harga TBS Petani yang diarahkan ke hasil tender KPBN.

"Kami Petani sawit bersepakat bahwa baik BK dan PE harus dipertahankan karena negara sangat membutuhkan pemasukan, yang tahun lalu menghasilkan devisa sebesar Rp510 triliun. Demikian juga dengan BPDPKS (badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit) yang sumber dananya berasal dari PE (levy). Namun demikian, baik PE dan BK akan lebih baik jika diturunkan sedikit yang sifatnya progresif," kata Gulat, Jumat (15/7/2022).

Jika beban ini dikurangi dalam arti dihilangkan (DMO, DPO, dan FO) atau jumlahnya dikurangi (BK dan PE), maka, sambung Gulat, otomatis beban CPO akan berkurang dan hal ini sangat membantu mendongkrak harga TBS Petani.

Gulat menjelaskan, bahwa formula perhitungan harga TBS Petani dipengaruhi langsung oleh patokan harga CPO yang digunakan, dalam hal ini pemerintah saat ini menggunakan formula harga KPBN (Kantor Pemasaran Bersama Nusantara).

Dijelaskan Gulat bahwa sudah ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 55 Tahun 2015 yang mengatur harga referensi CPO dalam negeri setiap bulannya.

"Anehnya, harga referensi ini tidak pernah digunakan, malah menggunakan dasar harga tender KPBN dan hal ini dikuatkan pulak oleh Permentan 01 Tahun 2018. Yang namanya tender pasti berlomba menawar rendah, apalagi buka harga tendernya sudah direndahkan, tentu hasil tenderpun semakin rendah pula. Masa ini dijadikan rujukan penetapan harga TBS kami Petani Ya wajar saja harga TBS petani selalu jauh di bawah Malaysia, karena di Malaysia tidak ada tender CPO, tapi mereka menggunakan harga bursa Malaysia dan diawasi ketat oleh Pemerintah disana," tegasnya.

“Tender KPBN awalnya hanya untuk PTPN menjual produk mereka. Kenapa sekarang dijadikan patokan harga TBS? Kita tau luasan lahan PTPN jadi tentu mereka tidak bisa kuat ketika tender di KPBN. Kenapa standar ini diterapkan ke semua harga TBS petani? Kenapa tidak menggunakan harga referensi resmi dari Kementerian Perdagangan? Perlu diketahui bahwa harga Referensi Kementerian Perdagangan tersebut sudah mengakomodir 60% dari harga bursa Indonesia, 20% mengakomodir harga bursa Malaysia dan 20% mengakokodir harga Rotterdam. Jadi cukup mewakili harga ideal," urai Gulat.

Dengan adanya 2 harga ini, maka sangat dibutuhkan otoritas pemerintah untuk menyelamatkan petani sawit dari rasa keadilan harga dan perlindungan negara.

"Saya tidak menyalahkan siapapun, karena memang Permentan yang mengarahkan rujukan ke KPBN. Namun hasil analisa kami bahwa tender di KPBN itu tidak “kompetitif” dan peserta tendernyapun hanya beberapa perusahaan. Jika hasil tender CPO rendah, maka otomatis pembelian TBS Petani akan ditekan oleh PKS. Tapi apakah Pemerintah akan membiarkan seperti ini terus? Padahal sudah ada Permendag 55 tahun 2015 yang mewajibkan rujukan harga CPO Indonesia yang mana harga referensi ini diterbitkan sekali sebulan," cakapnya lagi.

Oleh karena itu, kata Gulat, tidak ada alasan untuk tidak segera merevisi Permentan 01 Tahun 2018, kita perpacu dengan waktu, sebelum semuanya terlambat.

Sebagai contoh, ia mengatakan, diketahui bahwa harga CPO hasil tender di KPBN per (13/72022) adalah Rp 7.305 yang setara dengan harga TBS sebesar Rp 1.400 per kilogram.

Padahal harga CPO referensi Kemendag adalah $.615/ton. Setelah dikurang beban-beban (pajak dan potongan sebesar $688) maka harga CPO Indonesia seharusnya Rp.13.650 dan dari harga ini maka didapat harga TBS menjadi Rp2.750.

"Tentu saja petani sawit Indonesia tidak terima dengan acuan harga KPBN ini," ucapnya.

"Perlu dicatat bahwa kami petani sawit tidak memaksakan diri harga TBS harus tinggi, tapi sesuaikanlah dengan hak kami, sebagai mana harga referensi Kementerian Perdagangan. Kalau memang harga CPO dunia lagi lesu dan Kemendag menerbitkan harga referensi yang rendah pula, itu wajar. Yang tidak wajar adalah justru sebaliknya," tukas Gulat mengutip cakaplah. (jan)





 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved