Rabu, 08 Mei 2024
Kembalikan Formulir ke NasDem, Nasir Day: Terpanggil Pimpin Pekanbaru | Terlibat Peredaran Sabu, Tiga Orang Pria di Bangkinang Diringkus Polisi | PWI Riau Terima Surat Dukungan Resmi untuk HPN 2025 dari Pemprov Riau | Sat Lantas Polres Kampar Bersama ISDC Polda Riau Gelar Giat Police Goes To School di SMAN 1 Tambang | Peduli Palestina, Ribuan Mahasiswa dan Civitas Akademika Umri Gelar Aksi Unjuk Rasa | Tinjau Pembangunan Tribun Mini Lapangan Sri Serindit, Bupati: Ini Saksi Sejarah Kota Ranai
 
Sosial Budaya
Ahli Dewan Da'wah di Sidang MK: Nikah Beda Agama Itu Haram

Sosial Budaya - - Rabu, 02/11/2022 - 11:21:14 WIB

SULUHRIAU- Ahli dari Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Teten Romly Qomaruddien, mengatakan persoalan pernikahan beda agama seolah tidak mengenal kata berhenti.

Walaupun, kata Teten, pada dasarnya ajaran Islam telah membedakan dan telah memberikan aturan yang jelas.
"Selain terdapat dalil-dalil ayat yang menegaskan haramnya pernikahan beda agama tersebut, juga adanya riwayat hadits ditambah lagi adanya ijma' para ulama di setiap zamannya," ungkap Teten dalam sidang MK yang dilansir website MK, Rabu (2/11/2022).

Dikatakan Teten, sebagai bangsa yang beragama maka perlu memperhatikan pentingnya menempatkan falsafah negara yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Teten menjelaskan, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Bab 1 Pasal 1 yang berbunyi:

"Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan tetap berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kemudian pada Bab 1 Pasal 2 ayat (1) berbunyi:

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Demikian pula Bab 1 Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:

Tiap-tiap perkawinan itu dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Semua itu menurut ahli sudah relevan dengan kepribadian bangsa yang beragama dan menjunjung tinggi konstitusi negara selain sesuai dengan pentingnya merawat sumber daya manusia yang menjunjung akal sehat dan akal selamat juga memenuhi hakikat jalan hidup dan jalan mati manusia untuk menuju dua alam kebahagiaan hakiki," terangnya.

Menurut Teten, sebagai warga negara yang mematuhi ajaran agama, mematuhi dalil agama dan wahyu merupakan kepatuhan kepada sumber hukum yaitu syariah, menjalankan ketaatan kepada pandangan hukum yaitu fiqih dan mendukungnya terhadap aturan dan pedoman yang berlaku merupakan kesetiaan terhadap undang-undang. Selain itu, demi terwujudnya rumah tangga, keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah merupakan cita-cita yang wajib diperjuangkan dengan kesamaan iman.

"Dengan mengedepankan pertimbangan kebenaran wahyu, akal yang sehat dan akal yang selamat serta fitrah yang telah ditetapkan Allah serta mencegah kemudaratan, sudah sepantasnya MK menolak gugatan manapun yang ingin mencabut UU a quo tentang perkawinan," ucap Teten.

Ahli berikutnya Abdul Choir Ramadhan yang mengatakan pernikahan beda agama termasuk perbuatan tercela oleh masyarakat.

"Perkawinan yang sah menurut ajaran agama Islam yang telah memenuhi syarat dan hukum. Kedua unsur itu tidak dapat dinegasikan, dia bersifat universal dan mendasar," kata Abdul Choir.

Ia menegaskan, ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945.

"Jika permohonan uji materi ini dikabulkan oleh MK maka hal tersebut sama saja dengan melegalkan perzinaan karena pernikahan beda agama merupakan dosa besar dan menimbulkan kemudharatan yang berkelanjutan," tegasnya.

Sebagaimana diketahui, permohonan pengujianUU Perkawinan ini diajukan oleh E. Ramos Petege. Ramos merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.

Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi olehUU Perkawinan Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.

Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan.

Selain itu, pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas. (dtc)





 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved