Sabtu, 27 April 2024
Sambut Tokoh-tokoh Kampar di Pekanbaru, Pj Bupati Dukung Bagholek Godang Masyarakat Kampar | Polsek Tambang Tangkap Pelaku Narkoba di Depan SPBU Rimbo Panjang | Mantan Bupati Inhil Indra Muchlis Adnan Meninggal Dunia, Pj Gubri Sampaikan Ucapan Duka | Kapolda Riau M Iqbal: Jangan Ada Lagi Diksi Kampung Narkoba di Pekanbaru, Sikat Habis! | Peringatan 78 Tahun TNI AU Masyarakat Riau akan Disuguhi Aneka Atraksi di Lanud Roesmin Nurjadin | SULUHRIAU, Pekanbaru – Ribuan pendaftar calon anggota Polri dari 12 kabupaten/kota memenyhi halama
 
Religi
Petuah Ramadhan DR H Ahmad Supardi
Tingkatan-tingkatan Ibadah Puasa

Religi - - Selasa, 19/03/2024 - 13:09:41 WIB

IBADAH Puasa Ramadhan merupakan sebuah ibadah sangat mulia, memiliki nilai yang sangat tinggi di sisi Allah SWT.

Miliki nilai lebih dibandingkan dengan ibadah-ibadah pada umumnya, memperoleh limpahan pahala yang berlipat ganda dariNya, memiliki manfaat besar bagi para pelakunya, merupkan ibadah yang bersifat universal. Sebab telah dilaksanakan seluruh umat manusia, baik umat Nabi Muhammad SAW maupun umat- umat sebelumnya.

Ibadah puasa disebut-sebut sebagai ibadah zhahir tetapi hakikat dari ibadah puasa ini meru- pakan rahasia antara diri pelakunya dengan Sang Khaliq Allah SWT. Karena ia merupakan rahaasia, maka manfaat dan kegunaannya bagi kesehatan umat manusia, dan sederet kelebihan lainnya, yang tidak mungkin penulis uraikan satu persatu pada tulisan ringkas ini.

Ibadah puasa Ramadhan dilaksanakan pada bulan mulia, bulan ketika seluruh pintu surga di- buka, seluruh pintu neraka ditutup, dan bahkan setan-setan pun dibelenggu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Idzâ dakhala Ramadhânu futtihat abwâbu l-jannati wa ghulliqat abwâbu n-nâri wa shuffidati sy-syayâthîna. Apabila bulan Ramadhan telah masuk, maka dibukalah pintu-pintu syurga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu syaithan-syaithan. (H.R. Malik).

Bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, Allah SWT menyiapkan tempat khusus bagi mereka, berupa surga yang diberi nama Ar- Royyan. Surga ini sengaja disiapkan secara khusus olehNya, dan tidak dibenarkan dimasuki orang lain. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW:

Inna fiy l-jannati bâban yuqâlu lahu r-riyânu yadkhulu minhu sh- shâimuna yauma l-qiyâmati lâ yadkhulu minhu ahadun ghairuhuhum yuqâlu aina l-sh-shâimûna fayaqûmûna lâ yadkhulu minhu ahadun ghairuhu, faidzâ dakhalu ughliqa falam yadkhulu minhu ahadin.

Sesungguhnya di dalam syurga itu terdapat satu pintu yang diberi nama Ar-Royyan, masuk ke dalamnya orang-orang yang berpuasa pada hari Qiamat, tidak seorangpun masuk ke dalamnya selain mereka, dikatakan, dimana orang-orang yang berpuasa? Maka merekapun berdiri, tidak seorangpun bercampur dengan mereka. Apabila mereka telah masuk ke dalam syurga itu, maka pintupun dikunci dan tidak seorangpun masuk ke dalamnya selain mereka. (H.R. Bukhari).

Ibadah puasa Ramadhan diberikan limpahan pahala yang tidak terhingga dari Allah SWT, sampai sampai Allah SWT berfirman, bahwa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahala kepadanya. Di dalam hadits Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman:

Walladziy nafsiy biyadihi lakhulûfu fami sh-shâimi athyabu ‘inda Allâhi min r îhi l-miski, innamâ yadaru syahwatuhu wa tha’âmahu wa syarâbahu min ajliy fa-sh-shiyâmu liy wa Anâ ajziy bihi kullu hasanatin bi-’asyri amtsâlihâ ilâ sab’i miati dhi’fin illâ sh-shiyâma fahuwa liy wa Anâ ajziy bihi.

Demi yang diri-Ku disisinya, bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi, sesungguhnya ia meninggalkan syahwatnya, makannya, dan minumnya karenaKu, maka puasa adalah untukKu dan saya yang akan memberikan balasan kepadanya.

Semua kebaikan akan diberikan pahala antara sepuluh kali lipat sampai dengan tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa sebab puasa adalah untukKu dan Aku yang akan memberikan balasan kepadanya. (H.R. Malik).

Begitu mulianya orang-orang yang melak- sanakan ibadah puasa Ramadhan, sehingga Allah SWT menjadikannya sebagai sarana utama untuk meraih derajat tertinggi di sisi-Nya, yaitu insan muttaqien. Hal itu sejalan dengan penegasan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa   sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Qs. Al-Baqarah: 183),

Tingkatan Puasa

Adalah Imam Al-Ghazali, seorang ulama ter- kenal yang diberi gelar Hujjatul Islam, dalam bukunya yang terkenal, Ihya’u Ulumuddin, membagi Ibadah Puasa ke dalam tiga tingkatan besar, yaitu puasa awwam (puasa umum), puasa khawwash (khusus), dan puasa khawashshil khawash (istimewa).

Pembagian puasa ini dapat dijadikan tolok ukur, sampai dimana kualitas pelaksanaan ibadah puasa seseorang yang dilaksanakan setiap tahunnya, untuk selanjutnya melakukan evaluasi (introspeksi) dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan ibadah puasanya.

Pertama, Puasa Awwam, yaitu puasa orang- orang pada umumnya, dengan hanya menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri pada siang hari bulan Ramadhan, sejak memasuki waktu subuh sampai dengan tenggelam- nya matahari. Puasa seperti ini hukumnya sah dan dipandang telah terlepas dari kewajiban ibadah puasa.

Hanya saja kualitas ibadah puasa yang se- perti ini adalah kualitas yang paling rendah, sebab dibawahnya adalah puasa yang batal ataupun tidak sah. Puasa seperti ini termasuk dalam kategori puasa yang digambarkan oleh Rasulullah SAW: Rubba shâimin laisa lahu shiyâmihi illa l-jû’i.

Banyak orang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa- apa dari puasanya, kecuali hanya sekedar lapar. (H.R. Ibnu Majah).

Kedua, puasa khawwash (khusus), yaitu puasa yang tidak hanya sekedar menahan diri dari memenuhi keinginan perut (makan dan minum), serta melakukan hubungan suami istri pada siang hari bulan Ramadhan, akan tetapi juga menjaga pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki, dan semua anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan dosa dan maksiat.

Puasa dengan tingkatan seperti ini, hanya dimiliki orang-orang shalih. Untuk dapat sampai kepada tingkatan ini, seseorang harus melakukan enam hal penting, yaitu:

Pertama, menjaga pandangan. Menjaga pan- dangan dari segala sesuatu yang tercela dan munkar, juga dari sesuatu yang memalingkan perhatian dari mengingat Allah Azza wa Jalla. Sahabat Anas bin Malik ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

Ada lima hal yang dapat menghilangkan pahala orang yang berpuasa, yakni berbohong, menggunjing, mengadu domba, bersumpah dusta, dan memandang dengan syahwat.

Kedua, menjaga lidah. Menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, memfitnah, perkataan yang kotor dan keji, menghina, serta ungkapan yang dipenuhi kebencian.

Oleh karena itu, maka kita sangat dianjurkan diam daripada harus berbicara tentang sesuatu yang mengandung unsur maksiat, lalu cepat-cepat membaca dan mengkaji Al-Qur’an, serta menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.

Sufyan al-Tsaury mengatakan bahwa berdasarkan hadits Rasulullah SAW, mengumpat itu merusak nilai puasa. Mujahid juga mengatakan, bahwa dua perkara yang dapat merusak nilai puasa, yakni mengumpat dan berdusta. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa puasa itu adalah benteng, sesuai hadits:

Ash-shiyâmu junnatun faidzâ kâna ahadukum shâiman falâ yarfuts wala yajhal fainimru-un qatalahu aw syâimahu falyaqul: inniy shâimun inniy shâimun.

Puasa itu laksana benteng yang kokoh (pencegah dari segala perbuatan dosa). Maka jika salah seorang kamu berpuasa, maka jangan berkata kotor, dan berbuat jahil. Maka jika seseorang mengajaknya bertengkar dan memaki-maki, maka hendaklah ia berkata, saya ini sedang berpuasa, saya ini sedang berpuasa. (H.R. Malik).

Ketiga, menjaga pendengaran. Menjaga pen- dengaran dari mendengar segala sesuatu yang dilarang (diharamkan). Setiap perkataan yang dilarang oleh Allah SWT, maka mendengarkannya juga dilarang.

Oleh karena itu, mendengarkan se suatu yang diharamkan oleh Allah SWT, ditempat- kan pada tingkatan yang sama. Sebagaimana firman Allah SWT:

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. (Qs. Al- Ma’idah : 42).

Keempat, menjaga tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya. Menjaga tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan dosa yang tercela. Juga menjaga perut dari segala makanan yang diharamkan maupun syubhat pada saat berpuasa. Tidak ada artinya (sia-sia) orang yang berpuasa pada siang hari dengan meninggalkan ma- kanan halal, akan tetapi pada saat berbuka puasa, ia mengonsumsi makanan yang diharamkan, baik obyeknya maupun cara mendapatakannya.

Orang seperti ini laksana orang yang hendak membangun sebuah istana, akan tetapi dengan menghancurkan seluruh isi kota. Dan dilarang juga memakan ma- kanan yang dihalalkan secara berlebihan (rakus). Mengurangi dan menahan diri dari yang halal bukan hanya dibolehkan akan tetapi malah diwa- jibkan, yaitu melalui ibadah puasa Ramadhan.

Kelima, mencegah terlalu banyak makan. Mencegah terlalu banyak makan, walaupun makanan- nya itu yang halal sewaktu berbuka puasa, sehingga perut tidak terlalu kekenyangan.

Tidak ada kantung yang sangat dibenci Allah SWT, kecuali perut ma- nusia yang berisi terlalu penuh, hingga kekenyang- an. Bagaimana orang dapat mengambil hikmah puasa, kalau pada saat berbuka puasa melahap makanan hingga kekenyangan, karena membalas lapar dan hausnya di siang hari.

Padahal tujuan puasa adalah mengosongkan perut dan memper- baiki sistem kerjanya, untuk kemudian mengen- dalikan hawa nafsu, serta untuk meningkatakan kualitas ketakwaan.

Jika orang berpuasa dengan perut terisi penuh makanan dari pagi sampai petang, maka dorongan hawa nafsunyalah yang muncul, dia akan dikuasai oleh ketamakan serta sikap rakus sepanjang hari.
Keenam, memelihara qalbu agar tetap khusu’.

Memelihara qalbu agar tetap khusu’ kepada Allah SWT, melalui sikap takut dan berharap, juga dengan sabar dan do’a. sebab orang yang berpuasa tidak mengetahui apakah puasanya diterima atau ditolak, apakah termasuk seseorang yang dekat dengan Allah SWT ataukah tidak? Sudah menjadi kewajiban bagi setiap hamba untuk melakukan ibadah yang terbaik kepada Allah SWT.

Ketujuh, puasa Khawwashshil Khawwash (isti- mewa), yaitu orang-orang yang mampu memenuhi persyaratan puasa Awam dan Khowash, ditambah dengan mampu menahan qalbu (hati) dari dorongan nafsu dan fikiran duniawi.

Qalbu dan fikirannya hanya tertuju kepada Allah SWT. Sedangkan pan dangannya kepada dunia tidak lebih hanya sekedar tempat untuk beramal shaleh, sebagai bekal dan persiapan bagi kehidupan di negeri akhirat yang lebih kekal. Al-Ghazali lebih jelas menggambarkan, “Siapa saja yang pada siang hari di bulan puasa Ramadhan, qalbunya tergerak untuk mengumpulkan bahan makanan serta minuman sebagai bekal berbuka puasa, niscaya akan dituliskan baginya satu kekurangan (cela atas puasanya).

Tingkatan puasa tertinggi seperti ini, hanya dimiliki oleh para Nabi, Rasul, Shiddiqien, para Muqarrabien. Mereka ikhlas untuk mengorbankan seluruh jiwa raga serta harta benda mereka, hanya untuk mencari keridhoan Allah SWT. Mereka meng- hadapkan hati dan fikiran sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla.

Tidak ada satu pun yang luput dari hati, fikiran, dan pandangan mereka, kecuali hanya untuk Allah. Allah adalah pusat dan inti dari segala bentuk peribadatan. Jika manusia telah memalingkan niat dan tujuannya selain kepada Allah, maka seluruh amalnya menjadi sia-sia.

Berpuasa, atau apa pun amal shaleh yang kita kerjakan dalam hidup kesemuanya itu hanya ditujukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan sekaligus mencari keridhaan-Nya.

Hidup yang dikaruniakan Allah kepada kita, di samping layak kita syukuri kepada-Nya, juga harus kita gunakan sebaik-baiknya untuk kemanusiaan bersama. Bersyukur bukan untuk mencari surga tetapi mencari keridlaan-Nya. Surga itu hak prerogratif Allah. Jangan karena kita sudah berbuat banyak. lantas membuat kita terlalu banyak berharap untuk mendapatkan surga.

Sebab, kalau dihitung-hitung, nikmat Allah yang diberikan kepada kita berupa anggota badan kita saja, tidak sanggup kita membayar dengan pengabdian, meskipun seumur hidup kita selalu beribadah kepada-Nya. Bukankah beribadah itu, berapa pun banyaknya, bukan untuk Allah melain- kan untuk diri kita sendiri? Allah tidak membutuh- kan penghambaan manusia.

Meskipun manusia sejagat bersatu-padu untuk berbakti, tidak sedikit pun menaikkan derajat kemuliaan Tuhan. Sebaliknya, kendatipun manusia bersekongkol untuk mengkhianati-Nya pun, tidak secuil pun mengurangi derajat kemuliaan Tuhan itu sendiri. Wallahu a’lam. ***
________
Penulis: Dr. H. Ahmad Supardi Hasibuan, M.A.
(Kepala Biro AUAK IAIN Metro)





 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved