Sabtu, 04 Mei 2024
Keji, Suami Pelaku Mutilasi Istri Sempat Tawarkan Daging Korban ke Ketua RT | Hebat!, 10 ribu Penari Riau Pecahkan Rekor Muri di Gebyar BBI BBWI Provinsi Riau 2024 | Gebyar BBI/BBWI dan Lancang Kuning Carnival Prov Riau Perhelatan Spektakuler, Pj Gubri: Ini Potensi | KPU Riau Siap Hadapi Gugatan PHPU di MK Secara Profesional dan Adil | Pj Ketua TP PKK Provinsi Riau Bersama ASPEKUR Bagikan 1.000 Paket Makanan Sehat+Susu | Pemkot Gunungsitoli Ramaikan Gebyar Gernas BBI/BBWI dan Lancang Kuning Carnival di Pekanbaru
 
Petuah Ramadhan DR H Ahmad Supardi
Dalam Setiap Harta Ada Hak Fakir Miskin

- - , // - WIB

ISLAM adalah agama yang memberikan doro- ngan dan kebebasan kepada semua orang untuk bekerja keras dan berfikir cerdas untuk bekerja dan mendapatkan harta sebanyak mungkin.

Dengan catatan bahwa harta tersebut akan dipergunakan dalam rangka merealisasikan tugas dan fungsi manusia sebagai Khalifah Allah dan sekaligus sebagai hamba Allah di muka bumi.

Sebagai seorang khalifah, manusia dituntut mengelola dan melindungi bumi beserta isinya dari kerusakan, ketidak seimbangan dan keporak porandaan. Sedangkan sebagai hamba, manusia dituntut mengarahkan segala daya upaya yang dimilikinya semata-mata hanya untuk Allah SWT.

Konsepsi keterpaduan antara seorang khalifah dengan seorang hamba Allah di muka bumi, ber- pengaruh positif atas konsepsi kepemilikan harta. Kepemilikan harta dalam Islam bukanlah bersifat mutlak sebagaimana halnya dalam konsep kapitalisme yang menekankan pada penghalalan segala macam cara untuk mendapatkan harta sebanyak- banyaknya.

Kepemilikan harta dalam Islam, bukan juga seperti dalam sosialisme, yang menekankan pada kepemilikan bersama, tanpa memper- timbangkan unsure usaha masing-masing individu. Konsep Islam mengajarkan bahwa untuk mendapatkan harta harus dilakukan dengan cara yang halal dan meperhatikan sisi kemanusiaan.

Seseorang dilarang mendapatkan harta, manakala hal itu dilakukan dengan cara-cara yang dilarang dan merusak kemanusiaan. Dalam hal kepemilikan, Islam mengajarkan bahwa seseorang berhak memiliki harta sebanyak-banyaknya, namun di dalam harta kekayaan yang manusia miliki tersebut, terdapat hak orang lain khususnya fakir miskin dan asnaf yang lain, yang dalam istilah zakat disebut golongan Mustahik.

Diantara Dua Karang

Dalam konsepsi ini, Islam berada di antara konsepsi kapitalisme dan sosialisme, meminjam istilah Dawam Rahardjo, mengayuh di antara dua karang, yaitu karang kapitalisme dan karang sosialisme. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Alqur’an Surat Az-Zariyat (51) : 19, yaitu : “Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

”Pada ayat lain juga disebutkan,Alqur’an Surat Al-Ma’arij (70) : 24-25, yaitu “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bahagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan or- ang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).”

Untuk itu harta tersebut harus diserahkan seba- gian kepada golongan yang berhak menerimanya, agar harta tersebut menjadi bersih, suci, dan men- dapat berkah. Jika tidak diserahkan, maka Allah SWT memerintahkan atau memberikan otoritas mutlak kepada pemimpin negeri untuk memungut- nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 103 :

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan men- sucikan mereka dan berdoalah untuk mereka, sesungguh- nya doa kamu itu (menjadi ketentraman jiwa bagi mereka) dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Untuk melaksanakan otoritas yang diberikan Allah SWT tersebut, Nabi Muhammad SAW baik sebagai seorang Nabi dan Rasul bagi umat Islam maupun sebagai Kepala Negara bagi seluruh warga Negara Madinah, memerintahkan Abu Musa dan Mu’az bin Jabal untuk memungut zakat di Negeri Yaman, dari orang-orang kaya dari mereka dan membagikannya kepada orang-orang miskin di antara mereka. Kedua orang ini diberi wewenang penuh oleh Nabi Muhammad SAW untuk meng- hitung dan menetapkan besarnya harta zakat yang dikeluarkan oleh penduduk Negeri Yaman.

Janji dan Ancaman

Bagi orang kaya yang mau membayarkan zakatnya sesuai dengan tuntunan ajaran agama Is- lam, Nabi memberikan janji berupa keberkahan, pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT dan dihindarkan dari ketakutan dan kesedihan. Sebahagian dari janji tersebut adalah firmanNya dalam Alqur’an:

Perumpamaan orang-orang yang membeanjakan hartanya di Jalan Allah, seperti menanam sebuah biji yang menumbuhkan tujuh tangkai dan masing-masing tangkai menghasilkan buah seratus biji. Dan Allah memberikan pahala yang berlipat ganda (lagi) bagi orang-orang yang Dia kehendaki. (Qs. Al-Baqarah : 261).

Dalam ayat lain disebutkan, bahwa orang yang membayar zakat akan dihilangkan dari rasa ketakutan dan kesedihan, dua penyakit hati yang sangat berbahaya bagi seorang anak manusia. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Alqur’an Surat Al-Baqarah:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya, tidak ada ketakutan bagi mereka dan juga tidak ada rasa kesedihan.” (Qs. Al-Baqarah : 277).

Sedangkan bagi orang yang tidak mau mem- bayar zakat, diberikan ancaman siksa dan keseng- saraan, baik di dunia maupun di akhirat. Di dalam Hadits Rasulullah SAW bersabda: “Suatu kaum tidaklah membangkang membayar zakat melainkan dengan sengaja memohon kepada Allah agar ditimpakan bencana yang berkepanjangan kepada mereka.” Di dalam Al- Qur’an Surat Ali Imran (3): 180, disebutkan:

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Al- lah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Ali Imran
[3]: 180).

Dalam salah satu hadits bahkan disebutkan:

Barang siapa yang dititipI harta oleh Allah, dia enggan membayar zakatnya, maka pada hari qiamat hartanya itu akan diciptakan menjadi ular botak. Pada hari qiamat ular itu melilit si empunya harta dan mematuknya dengan kedua rahangnya, yakni kedua gigi taringnya yang ganas seraya berkata, Akulah sejatinya hartamu dan akulah tim- bunanmu.”(H.R. Bukhari).

Hak Orang Lain

Harta yang dimiliki seseorang pada dasarnya bukanlah milik dia secara mutlak sebab pemilik harta yang sesungguhnya adalah Allah SWT. Harta dititipkan kepada seseorang sebagai rezeki pemberian Allah, yang harus disyukuri.

Salah satu bentuk mensyukuri nikmat pemberian Allah adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa di dalam harta yang dimilikinya terdapat bahagian orang lain. Bahagian orang lain tersebut diistilahkan dengan “zakat”, yang harus diserahkan kepada yang berhak menerimanya, sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.

Hak orang lain dalam monteks zakat adalah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Surat At-Taubah (9) : 60:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang- orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu kewajibkan dari Allah.

Sungguh Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Salah satu hikmah penting dari pemberian hak orang lain tersebut adalah memenuhi kebutuhan para fakir miskin sesuai dengan standar hidup kebiasaan masyarakat setempat.

Selain itu, meng- hilangkan kesenjangan social antara si kaya dengan si miskin, sehingga terjalin kasih saying, shilatur- rahim, saling peduli dan saling melindungi antara satu sama yang lain. Apabila perhatian diberikan si kaya kepada si miskin dalam bentuk zakat, atau infaq dan shadaqah, maka nasib si miskin akan berubah. Dan untuk itu, Allah akan menurunkan rahmatNya kepada manusia.

Jika hak orang lain tak dibayarkan, maka kesen- jangan sosial ekonomi akan semakin melebar, apa- lagi pemilik harta seolah melupakan kewajibannya tersebut. Mereka hidup tanpa memperhatikan or- ang di sekelilingnya. Mereka terbuai dengan keme- wahan duniawi. Harta yang melimpah membuat mereka jauh dari perintah agama.

Bila sudah demikian halnya, maka umat manu- sia harus bersiap diri menerima azab dan sengsara, akibat kekikiran dan keserakahan yang dibangun oleh tangan kita sendiri. Bersamaan dengan itu, rasa aman, tenteram, dan damai, di dalam kehidupan apa pun akan hilang. Sebab telah hilang kepedulian sosial dan kebersamaan dalam hidup, maka hilang pulalah rasa aman dan damai itu.

Paradigma Baru Pengelolaan Zakat
Zakat adalah salah satu ajaran pokok agama Is- lam, yang merupakan pemberian wajib yang dikenakan pada kekayaan seseorang yang beragama islam, yang telah terakumulasi nisab dan haul dari hasil perdagangan, pertanian, hewan ternak, emas dan perak, berbagai bentuk hasil pekerjaan/pro- fesi/investasi/saham dan lain sebagainya.

Selain zakat, dikenal juga istilah infaq dan shadaqah, hanya saja sifatnya bukan merupakan pemberian wajib, tetapi pemberian yang bersifat sangat dianjurkan (sunnat) bagi mereka yang bercukupan. Orang ber- ada memiliki kewajiban moral untuk memberi.

Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) merupakan asset berharga ummat Islam, sebab berfungsi sebagai sumber dana potensial yang dapat diman- faatkan untuk meningkatkan kesejahateraan seluruh masyarakat. Para pakar dibidang hukum Islam menyatakan bahwa, ZIS dapat komplementer dengan pembangunan nasional, karena dana ZIS dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejah- teraan masyarakat, khususnya dalam bidang pengentasan kemiskinan, kebodohan, dan keter- belakangan.

Zakat Sebagai Anak Tiri

Persoalannya sekarang adalah fungsi dan peranan zakat yang begitu besar, tidak sebanding dengan perhatian dan pelaksanaannya dari ummat Islam. Dari lima kewajiban pokok yang tercantum dalam Rukun Islam, Zakat adalah “anak tiri” bila dibandingkan dengan Rukun Islam yang lainnya. Padahal kedudukannya adalah sama dalam ajaran agama Islam. Sebab sama-sama Rukun atau Tiang Penyangga Utama dalam Islam itu sendiri.

Malah sebenarnya Zakat mempunyai kelebihan apabila dibandingkan dengan keempat Rukun Is- lam lainnya. Sebab zakat selain bedimensi ubudiyah zakat juga berdimensi sosial kemasyarakatan secara langsung dalam bentuk material. Sedangkan keempat Rukun Islam lainnya hanya berdimensi ubudiyah.

Kalau pun berdimensi sosial, tidak secara langsung melainkan efek logis atau kelanjutan lang- sung dari sikap ibadah itu sendiri. Karena semua ibadah pasti memiliki efek sosial, baik langsung maupun tak langsung. Dan ibadah zakat memiliki efek sosial secara langsung itu.

Agar upaya yang dimaksud dapat dicapai sebagaimana mestinya maka diperlukan adanya pengelolaan ZIS secara profesional dengan meng- gunakan manajemen modern serta dengan melibatkan para pakar di bidangnya, di tambah dengan dukungan pemerintah yang intensif baik yang bersifat moril berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan maupun yang bersifat materil dalam bentuk penyediaan dana operasional dan administratif.

Dengan demikian, timbul kepercayaan masyarakat kepada pengelola zakat, sebab masayarakat bukan tidak mau membayar zakat, tetapi kurang percaya kepada pengelola zakat.

Paradigma Baru

Salah satu upaya penting yang dapat dilakukan adalah belakukan perubahan paradigm pengelo- laan zakat dari paradigm lama menuju paradigm bau, yang meliputi :

Pertama, merubah pandangan yang menyatakan bahwa zakat adalah bersifat sukarela dan belas kasihan orang kaya terhadap fakir miskin, menjadi zakat adalah merupakan perintah Allah yang harus ditunaikan dan hukumnya wajib untuk dilak sanakan tanpa adanya tawar menawar.

Untuk itu, harus ada mekanisme dan petugas khusus dalam memungut zakat dari kekayaan seseorang atau badan usaha milik umat Islam, sebagaimana halnya petugas teknis pemungut pajak.

Kedua, zakat dibayarkan setelah satu tahun, sebagaimana dipahami dalam fiqh-fiqh klasik, menjadi zakat dibayarkan tidak mesti satu tahun tetapi dapat dicicil setiap bulan (system kredit).

Jika harus menunggu satu tahun, maka besar kemung- kinan dana tersebut akan habis dibelanjakan dan menjadi alasan untuk tidak membayar zakat. Untuk itu, zakat dapat dibayarkan setiap terima gaji, honor dan atau penghasilan lainnya, sebagaimana halnya membayar zakat pertanian yaitu ketika panen. Bila ini dilakukan, peluang zakat jauh lebih produktif, setara dengan pajak yang sedang dengan gencar digalakkan oleh pemerintah dewasa ini.

Ketiga, zakat adalah untuk kiyai, tuan guru, guru mengaji, dan atau orang-orang khusus lainnya. orang-orang terhormat itu malah dengan ringan menerima zakat. Padahal penerimai zakat adalah delapan asnaf.

Dengan demikian, penyaluran zakat tidak menumpuk pada satu orang tertentu, tetapi tersebar kepada semua asnaf secara adil dan merata. Pembayaran zakat pada asnaf tertentu, berakibat gemuknya satu asnaf, sementara asnaf yang lain kekurusan. Padahal semua asnaf memiliki hak yang sama untuk mendapatkan zakat.

Keempat, zakat adalah diserahkan langsung kepada orang per orang, menjadi zakat harus diserahkan melalui Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan diserahkan kepada kumpulan orang (system kelompok). Penyaluran zakat secara langsung, menjadikan penyaluran zakat tidak terkoordinasi, tidak tepat sasaran, dan tidak mencapai tujuan utama daripada zakat.

Salah satu asnaf zakat adalah Amil. Penetapan adanya Amil oleh Allah SWT, adalah bahasa lain tidak diboleh- kannya membayarkan zakat secara langsung ke- pada mustahiq.
Kelima, zakat harus dibagi delapan asnaf sama besar, menjadi zakat dibagi secara prioritas sesuai kebutuhan yang paling mendesak.

Al-Qur’an me- mang menyebutkan delapan asnaf, tetapi tidak menyebutkan harus bagi rata. Di dalamnya ada ruang gerak untuk berkreasi, sehingga lebih fokus dalam pencapaian tujuan penetapan kewajiban zakat.

Keenam, zakat dikelola secara konsumtif murni, menjadi zakat harus dikelola secara produktif. Penyaluran zakat secara konsumtif, hanya dibenarkan kepada fakir miskin yang tak berdaya. Sedangkan bagi fakir miskin yang berdaya, memiliki kekuatan, bahkan memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan, penyaluran zakat harus bersifat pro- duktif, sehingga penyaluran zakat dapat mengen- taskan masyarakat dari kemiskinan.

Ketujuh, zakat hanya dapat dirasakan seketika, menjadi zakat harus bermanfaat ganda dan bersifat jangka panjang. Penyaluran zakat harus dapat mengentaskan seseorang dari kemiskinannya, se- hingga pada saatnya, yang bersangkutan dapat berubah dari mustahik menjadi muzakki atau mini- mal mutashaddiq. Penerima zakat, bukan duduk berpangku tangan, bergoyang kaki, setelah mene- rima zakat, justru semakin terdorong untuk bekerja keras dengan uang zakat yang diterimanya.

Kedelapan, uang zakat akhir-akhri ini cenderung tidak mendidik. Padahal, maksud awal pemberian zakat adalah kaum muslimin terbantu mengguna- kan uang itu untuk tujuan produktif bukan semata- mata konsumtif.

Oleh karena uang zakar harus men- didik masyarakat keluar dari kemiskinan yang me- nyelimutinya. Penerima zakat, hendaknya berpikir produktif. Misalnya, setelah menerima zakat, harus lebih terpacu dan termotivasi untuk berkarya mengentaskan dirinya dari kemiskinan.

Gagasan ini sejalan dengan penghargaan Rasulullah kepada mereka yang bersikap produktif dalam memaknai sebuah pemberian. Nabi saw per- nah memberikan hadiah kepada seorang sahabat Nabi saw yang mempunyai keahlian dalam meng- umpulkan kayu bakar.

Si pengumpul kayu bakar tersebut, menggunakan kampak yang diberikan oleh Nabi saw untuk berusaha secara produktif dan mandiri sehingga ia hidup berkecukupan. Sekali diberikan dia dapat memanfaatkan pemberian itu untuk memberdayakan dirinya sendiri. Ia menjadi mandiri berkat sebuah kampak pemberian Rasul- ullah. Melalui kampak itulah dia berikhtiar mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar.

Hasilnya tentu saja untuk kebutuhan hidupnya maupun keluarganya sehari-hari tanpa harus meminta-minta lagi kepada Rasulullah. Dengan bekerja keras, orang itu menunjukkan sikap tahu menghargai anugerah Tuhan. Ia bekerja secara sungguh-sungguh adalah bentuk sikpa syukurnya kepada Allah. Sebab, melalui kerja sera itulah ia dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, bahkan dapat menabung untuk hari tuanya.

Kesembilan, hal-hal yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang terdapat dalam fiqh-fiqh lama, mejadi hal-hal yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah semua perolehan dan penghasilan yang baik-baik.

Kita jangan terlalu terpaku dengan fiqh-fiqh lama, sebab fiqh-fiqh tersebut dikarang oleh para ulama sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu. Zaman telah berubah, penghasilan masyarakatpun berubah. Tentunya harta yang wajib dizakati pun harus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Kesepuluh, zakat dianggap mengurangi keka- yaan muzakki, menjadi zakat justru menambah dan memberkahi kekayaan si muzakki. Secara lahiriah, pembayaran zakat mengurangi harta si muzakki, tetapi secara bathiniyah, pembayaran zakat justru menambah berkah, subur, berkembang. Lebih dari itu, harta si muzakki pun akan terlindungi dari kega- nasan kaum fakir miskin.
Wallahu a’lam. ***

________
Penulis: Dr. H. Ahmad Supardi Hasibuan, M.A.
(Kepala Biro AUAK IAIN Metro
)





 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved