Jum'at, 29 Maret 2024
Safari Ramadhan, Komut Beri Apresiasi Kinerja PLN Icon Plus SBU Sumbagteng | 303 Akademisi Ajukan Amicus Curiae, Minta MK Adil di Sengketa Pilpres | Nekat Bobol Warung, Seorang Remaja Tertangkap Warga dan Diserahkan ke Polsek Siak Hulu | Koramil 02 Rambah Kodim 0313/KPR Rohul Berbagi Takjil pada Masyarakat | Tak Patut Ditiru, Viral Video Pungli Trotoar untuk Hindari Kemacetan | Nuzul Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
 
OPINI

red
Pungli dan Gejala Sosial Masyarakat

Peristiwa mogok angkot salah satu trayek di Kota Pekanbaru, beberapa waktu lalu  karena resah dengan pungutan liar. Para sopir menyampaikan keluhannya dan minta perlindungan kepadaPolresta tentang merebaknya preman yang melakukan pemerasan. 

Intinya, para sopir meminta aparat kepolisian untuk menindak setiap bentuk aksi pemerasan. Mereka pun menegaskan jika pungli itu tidak ditertibkan, maka mereka 
akan bertindak sendiri untuk memberantas para preman yang memeras itu. Kondisi patut  untuk disikapi secara serius. 

Ketidakseriusan akan menyababkan tindakan main hakim sendiri (tentu bukan hanya soal sopir angkot-red). Sebab, jika masalah dibiarkan tak mustahil akan melahirkan "tawuran" dan "perang" horizontal antar penduduk secara meluas.

Soal pungli ini perlu dianalisis. Perlu diketahui konsep pungli itu sendiri, akar sejarah dan prospeknya pada masa mendatang. Istilah Pungli ini sudah dikenal luas oleh masyarakat. 
Perbutan ini yang disebut sebagai perbuatan pungli sebenarnya merupakan suatu gejala sosial yang telah ada di Indonesia.

Sejak Indonesia masih dalam masa penjajahan dan bahkan jauh sebelum itu. Namun penamaan perbuatan itu sebagai perbuatan pungli, secara nasional baru diperkenalkan pada bulan September 1977, yaitu saat Kaskopkamtib yang bertindak selaku Kepala Operasi Tertib bersama Menpan dengan gencar melancarkan Operasi Tertib (OPSTIB), yang 
sasaran utamanya adalah pungli.

Istilah pungli sebenarnya hanyalah merupakan istilah politik yang kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh dunia jurnalis. Dalam dunia hukum (pidana), istilah ini tidak dijumpai. 

Belum pernah kita mendengar adanya tindak pidana pungli atau delik pungli. Jika kita bersikeras menggunakan istilah pungli, maka secara hukum (pidana), pelaku pungli 
tidak dapat dihukum. 

Karena memang tidak ada ketentuan hukumnya yang mengatur secara tegas perbuatan pungli tersebut. Secara kebetulan, istilah pungli ini juga terdapat dalam kamus bahasa China.  Li artinya keuntungan dan Pung artinya persembahan, jadi Pungli diucapkan Puuuung Li, artinya adalah mempersembahkan keuntungan.

Bertolak dari uraian di atas, penulis merasa perlu untuk meluruskan penggunaan istilah pungli tersebut. Pungli merupakan kependekan dari "Pungutan Liar". 

Semua bentuk pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan hukum, maka tindakan pungutan tersebut dinamakan sebagai pungutan liar (pungli). 

Dalam bekerjanya, pelaku pungli selalu diikuti dengan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap korban. Jika kita sepakat dengan konsep pungli seperti diuraikan 
di atas, maka sesungguhnya pungli itu tidak lain adalah merupakan pemerasan. pemerasan dalam dunia hukum pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang, sehingga termasuk 
dalam kategori tindak pidana/delik.

Rumusan tindak pidana pemerasan dituangkan dalam Pasal 368 KUHP yang secara tegas menetapkan, "Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya memberikan barang sesuatu, yang seluruh atau sebagiannya adalah kepunyaan orang itu atau kepunyaan orang lain; atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun".

Untuk mencegah ini antara lain selain ketegasan polisi, juga seharusnya ada lembaga kontrol yang independen dan mempunyai kekuatan putusan yang mengikat. Untuk dapat 
masuknya lembaga ini ke dalam mekanisme kepolisian, tentu saja diperlukan sistem open managemen terlebih dahulu.

Untuk menjerat kejahatan ini memang perlu pembuktian, dan bukan tidak mustahil hal itu dapat dibuktikan terutama jika negeri konsisten dalam pencegahan masalah ini di era 
reformasi ini. 

Penulis: Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau. 
 
 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved