Jum'at, 29 Maret 2024
Safari Ramadhan, Komut Beri Apresiasi Kinerja PLN Icon Plus SBU Sumbagteng | 303 Akademisi Ajukan Amicus Curiae, Minta MK Adil di Sengketa Pilpres | Nekat Bobol Warung, Seorang Remaja Tertangkap Warga dan Diserahkan ke Polsek Siak Hulu | Koramil 02 Rambah Kodim 0313/KPR Rohul Berbagi Takjil pada Masyarakat | Tak Patut Ditiru, Viral Video Pungli Trotoar untuk Hindari Kemacetan | Nuzul Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
 
OPINI

Agus Pambagio
JHT yang Meresahkan

SEMUA manusia suatu saat pasti akan menua dan kemudian menjadi almarhum/mah. Namun katika waktu menua tiba, di mana tubuh sudah tidak lagi produktif, manusia masih memerlukan biaya hidup. Sulitnya, ketika tubuh sudah renta justru dibutuhkan biaya yang tinggi. Alasan inilah yang mendorong Pemerintah untuk mencoba memberikan perlindungan dasar melalui Jaminan Hari Tua (JHT).

Munculnya UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) merupakan upaya Pemerintah saat itu untuk bisa memberikan JHT kepada seluruh warga Negara yang karena suatu hal mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau meninggal di usia kerja atau sudah memasuki masa pension (56 tahun).

Secara peraturan perundang undangan, JHT yang pada awalnya dikelola oleh PT Jamsostek (saat ini oleh BPJS Ketenagakerjaan) sudah memadai. Hanya saja peraturan pelaksanaannya belum semua dikeluarkan. Padahal sesuai dengan perintah Pasal 70 UU No. 24 Tahun 2011, semua Peraturan Pemerintah (PP) harus sudah terbit dalam 2 tahun setelah UU tersebut dinyatakan berlaku atau seharusnya semua PP nya sudah harus selesai pada tahun 2013.

Persoalan muncul ketika PP No. 46 Tahun 2015 Tentang Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 30 Juni 2015 langsung diberlakukan pada tanggal 1 Juli 2015, tanpa ada masa transisi. Persoalan paling mendasar adalah berubahnya waktu pencairan dan besaran nominalnya.

Persoalan dan Hambatan JHT


Koordinasi merupakan sesuatu yang indah untuk didengar maupun dibacanya, namun paling sulit dilaksanakan di Indonesia. Demokrasi di Indonesia ditandai dengan lemahnya koordinasi yang sangat merugikan publik. Semua pihak, baik regulator maupun legislator merasa pihak yang paling berwenang mengatur kepentingan publik.

Munculnya PP No. 46 Tahun 2015 merupakan bukti lemahnya koordinasi di tingkat Kementerian kala itu. PP ini seharusnya sudah muncul  dan diberlakukan paling lambat pada tanggal 25 Nopember 2013 atau 2 tahun sejak UU No. 24 Tahun 2011 diundangkan dan berlaku.

Namun pada kenyataannya, Pemerintah di bawah kepemimpinan mantan Presiden SBY tidak mampu menyelesaikan mandat UU No. 24 Tahun 2011 tersebut.

Perdebatan PP JHT tak kunjung selesai hingga pergantian pemerintahan. Presiden Jokowi juga sudah berusaha untuk mempercepat penyelesaian PP JHT jauh hari sebelum berlaku tanggal 1 Juli 2015 tetapi gagal. Penyebab panjangnya perdebatan, antara lain karena PT Taspen sebagai pengelola dana pensiun aparatur Negara berkeberatan kalau kewenangannya diambil oleh PT BPJS Ketenagakerjaan d/h PT Jamsostek yang awalnya hanya mengelola JHT buruh atau pegawai swasta.

Selain koordinasi, ketiadaan konsultasi publik pada proses penyusunan peraturan perundang undangan akan menyebabkan buruknya kualitas kebijakan yang dihasilkan. Pelibatan publik, termasuk pelaku usaha secara intensif pasti akan membuat peraturan perundang undangan yang dihasilkan akan diterima dengan baik oleh publik dan dunia usaha. Tidak seperti PP No. 46 Tahun 2015 yang banyak dicerca publik dan dunia usaha.

Publik, buruh  dan perusahaan swasta bingung ketika terjadi perubahan kebijakan terkait dengan pencairan JHT secara tiba-tiba karena selama ini tidak pernah ada penjelasan, baik dari pengelola JHT (BPJS Ketenagakerjaan) maupun Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Akibatnya terjadi penolakan publik dan yang menjadi sasaran adalah Presiden, sebagai penanda tangan PP.

Di sini terlihat bahwa banyak pihak yang tidak mau kehilangan kendali atas dana besar yang selama ini mereka kendalikan. Akibatnya kesepakatan sulit di dapat dan pengelola serta Pemerintah kehilangan waktu untuk melakukan konsultasi dan sosialisasi pada publik.

Persoalan utama gagalnya PP No. 24 Tahun 2015 adalah pembayaran manfaat hari tua yang semula diatur UU No. 3 Tahun 1992 diubah. Awalnya peserta dapat mengambil JHT seluruhnya setelah bekerja selama 5 tahun dengan masa tunggu 1 bulan.

Namun berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 peserta baru dapat mengambil JHT setelah menjadi peserta selama 10 tahun dengan ketentuan pengambilan JHT maksimal 10% untuk persiapan hari tua dan 30% untuk membantu pembiayaan perumahan. Sisanya baru bisa diambil ketika pekerja sudah pensiun di usia 56 Tahun. Perubahan ini dirasakan oleh para pekerja tidak adil. Mengapa uang sendiri mau diambil kok dibatasi, begitu kata mereka.

Saran Penyelesaian

Seperti yang telah disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui siaran Persnya, Presiden Jokowi telah memerintahkan kepadanya untuk segera merevisi PP No. 46 tahun 2015 tersebut. Kecepatan reaksi Presiden perlu diapresiasi supaya tidak muncul perdebatan panjang yang melelahkan, termasuk akan muncul banyak demo dari kalangan buruh.

Untuk itu saya perlu sampaikan beberapa saran sebagai hasil menyimak perdebatan publik di media sosial seminggu terakhir ini maupun berdasarkan  pembicaraan saya dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Ketua Komisi XI kemarin.

Pertama, saya menyarakan agar dalam PP perubahan pengambilan JHT seluruhnya dapat dilakukan ketika pekerja di PHK atau meninggal dunia, meskipun belum 10 tahun bekerja.

Kedua, besaran pengambilan JHT dinaikan dari hanya 10% menjadi 30% untuk persiapan hari tua dan 30% untuk membantu pembiayaan perumahan, jika pekerja di PHK meskipun belum bekerja selama 10 tahun. Sisanya dapat diambil ketika pensiun.

Ketiga, peserta yang sedang dalam proses waktu tunggu dimana pencairannya akan melewati  tanggal 1 Juli 2015 harus masih mengikuti peraturan perundang undangan sebelum terbitnya PP No. 46 Tahun 2015.

Keempat, PT BPJS Ketenagakerjaan, sebagai pengelola JHT, harus melakukan sosialisasi sebelum PP baru nanti disahkan.

Kelima, gunakan semua protes publik di media sosial dan konvensional sebagai bahan dasar perubahan PP. Anggap saja sebagai proses konsultasi publik.

Sebagai penutup,  pada 6 Juli 2015 akan ada Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi IX DPR-RI dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Semoga RDP dapat menyepakati isi perubahan PP No. 46 Tahun 2015  supaya PP baru dapat secepatnya disahkan sehingga tidak terlalu merugikan peserta. Selain itu, yang terpenting  PP JHT baru jangan  melanggar UU BPJS yang ada. (*)


* Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik (detik.com)

 
 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved