SULUHRIAU- Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Riau kembali gagal mengeksekusi Notaris senior Neni Sanitra, terpidana satu tahun dalam perkara pemalsuan akta perjanjian. Menurut Jaksa, Neni kabur ke Jakarta dan tidak memenuhi panggilan untuk dieksekusi.
Setelah putusan Kasasi Mahkamah Agung, Neni seharusnya dieksekusi pada Kamis (30/6) lalu. Namun karena beralasan sakit, JPU Ermindawati tidak menjalankan putusan institusi kehamakiman tertinggi tersebut.
Padahal sebelumnya, Neni terlihat segar saat pihak Kejaksaan menyambangi kantornya di Jalan Tuanku Tambusai, kota Pekanbaru. Saat diperlihatkan putusan Mahkamah Agung, Neni mendadak pingsan di depan jaksa yang akan melakukan eksekusi terhadapnya.
Karena pingsan, akhirnya Neni dilarikan ke Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru. Tidak beberapa lama, Neni dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Daerah Pekanbaru, hingga akhirnya Neni diketahui sudah berada di rumahnya, eksekusi pun tetap tidak berjalan.
Kepada jaksa, pihak keluarga berjanji akan menyerahkan Neni untuk dieksekusi menjalankan hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan dan Anak Pekanbaru pada Jumat (15/7) ini. Namun, hal tersebut tidak kunjung dilakukan jaksa.
Saat dikonfirmasi terkait eksekusi terhadap Neni Sanitra yang gagal dilakukan, Kepala Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Idianto, malah mempertanyakan keberadaan Neni. "Emangnya sudah ditemukan?" kata Idianto.
Menurut Idianto, usai urung dieksekusi akhir Juni 2016 lalu, suami Neni berjanji akan menyerahkan sang istri ke pihak kejaksaan pada hari ini.
"Sekarang, nomor handphone-nya tidak aktif," kata Idianto mencoba menghubungi nomor suami Neni Sanitra.
Tak sampai di situ, nomor seluler sang JPU, Ermindawati, juga tidak aktif saat dihubungi Idianto. "HP jaksanya (Ermindawati) juga tak aktif," kata Idianto.
Melihat kejanggalan antara Ermindawati dengan Neni Sanitra, Idianto geram. Dia berjanji akan melakukan upaya paksa terhadap terpidana 1 tahun penjara tersebut.
"Kalau seperti ini, terpaksa akan kita lakukan upaya paksa. Dia tidak kooperatif," tegas Idianto.
Sementara itu, JPU Ermindawati saat ditemui wartawan membenarkan pihaknya tidak melakukan eksekusi terhadap Neni Sanitra. Menurut Ermindawati, berdasarkan keterangan Yusril Sabri selaku Pengacara dari Neni Sanitra, kliennya tengah berada di Jakarta.
"Kata pengacaranya, Neni Sanitra tengah dipanggil Ikatan Notaris di Jakarta," kata jaksa Minda.
Namun Minda tak dapat memastikan kapan pihaknya melaksanakan putusan Mahkamah Agung untuk melakukan eksekusi terhadap Neni. "Saya tidak tahu. Saya tidak bisa komentar. Jangan statemen saya lah. Nanti salah pula," elak Minda.
Dalam kasus ini, pada sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Kamis (19/3) lalu, majelis hakim yang diketuai Yuzaida, menyatakan Neni Sanitra lepas dari tuntutan hukum. Selain itu, Majelis Hakim juga memerintahkan JPU memulihkan hak-haknya dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabat.
Sementara, pada persidangan sebelumnya, JPU Silpia Rosalina dan Ermindawati, menuntut Neni Sanitra dengan pidana penjara selama dua tahun. Menurut JPU, perbuatannya yang merupakan notaris di Pekanbaru tersebut, yang mengubah isi perjanjian secara terpihak, bertentangan dengan Pasal 264 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Tidak terima dengan putusan majelis hakim tersebut, JPU kemudian mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, majelis hakim MA merubah isi putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, dan memutuskan Neni Sanitra dihukum selama 1 tahun penjara. Berdasarkan putusan tersebutlah, Neni Sanitra harus dieksekusi.
Kasus ini berawal saat PT Bonita Indah dengan direkturnya bernama Daniel Freddy Sinambela, akan mengikuti tender jasa penyediaan kendaraan berupa mobil tanpa jasa pengemudi di PT Chevron Pasific Indonesia.
Karena modalnya terbatas, Daniel pun mencari pemodal agar dapat mengikuti lelang itu. Sebab, salah satu syaratnya adalah harus memiliki uang sedikitnya Rp 5 miliar di bank. Daniel akhirnya pun menemui dua pengusaha yakni Bonar Saragih dan Mangapul Hutahaean. Keduanya bersedia menjadi pemodal pada proyek PT BI.
Keduanya sepakat bekerja sama dan membuat perikatan dalam Akta Perjanjian Kerja Sama Nomor 149 dan 150 tanggal 30 Maret 2014 di Kantor Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Neni Sanitra. Lalu, PT BI pun menang dalam lelang di PT CPI itu.
Namun, usai lelang dimenangkan, Bonar berselisih dengan Daniel. Akibatnya, perselisihan pun terjadi, Bonar menarik uang Rp 5 miliar dari bank secara sepihak. Atas tindakan itu, Daniel pun mengutus kuasa hukumnya untuk meminta salinan akta perjanjian dari notaris Neni. Namun saat itu, Neni tak bersedia memberikan salinannya.
Setahun kemudian, PT BI curiga ada kejanggalan dalam isi perjanjian itu. Daniel merasa, isi perjanjian yang dijadikan Bonar saat menggugatnya, tak sama dengan isi perjanjian semula ketika sama-sama menghadap Notaris Neni. Daniel akhirnya meminta salinan Akta itu kepada Neni.
Ternyata, dari akta itu terungkap bahwa isi perjanjian itu memang diubah sepihak. Sebab, sesuai aturan, untuk mengubah akta harus dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak di hadapan notaris atau renvoi. Akta yang diubah itulah yang diduga dijadikan Bonar menggugat PT BI di peradilan perdata.
Atas temuan itu, pada 10 Juli 2012, PT BI pun mengadukan aksi Neni itu kepada Majelis Pengawas Wilay
Komentar Anda :