Jawaban Kebingungan Banyak Orang Tentang Kondisi Ekonomi Indonesia [1]
Senin, 30 Oktober 2017 - 07:50:15 WIB
SULUHRIAU- Mungkin ini jawaban paling tepat dari semua pertanyaan tentang ekonomi Indonesia. Banyak orang bingung melihat satu persatu ritel tutup. Mulai 7-Eleven hingga Lotus dan Debenhams semua ditutup.
Muncul kecemasan masyarakat hingga jeritan pengusaha. Analisa dari pemerintah juga belum tuntas.
"Biarin saja dulu sampai nanti jelas semuanya," kata Menko Perekonomian, Darmin Nasution, yang secara tidak langsung menegaskan dirinya juga belum tahu pasti apa yang terjadi dengan negara ini. Demikian juga solusi yang harus ditempuh.
Ada benarnya dari yang dilakukan Darmin. Dibandingkan harus menambah bahan nyinyiran banyak orang, maka lebih baik menunggu hasil analisa yang lebih akurat. Lengkap dengan kebijakannya.
Sekarang mari lihat dari lingkup yang lebih luas. Tak harus perjalanan ekonomi dari zaman sebelum merdeka. Cukup satu dekade terakhir.
Indonesia sejak akhir 2006 menikmati kemewahan harga komoditas. Sederhananya, Indonesia saat itu negara yang kaya dengan harga batu bara dan kelapa sawit serta mineral yang tinggi, dan diekspor ke negara lain. Masyarakat bisa hidup foya-foya, membeli segala macam barang dan jasa. Akibatnya ekonomi tumbuh melejit sampai di atas 6%.
Tingkat konsumsi masyarakat jika ditotal secara keseluruhan, rata-rata di kisaran 5,3-5,5%. Saking tingginya konsumsi, barang impor masuk secara sporadis.
Bahkan ketika krisis keuangan melanda dunia pada 2008, Indonesia masih cukup aman-aman saja. Selain stabilitas sistem keuangan yang semakin baik, banyak komponen lain yang ikut menopang dari hantaman krisis.
Nah, cerita indah itu selesai pada akhir 2012. Harga komoditas anjlok. Orang-orang kaya baru pelan-pelan tertekan. Bayangkan, pada 2010 harga batu bara mencapai US$ 100/ton, kemudian turun jadi sekitar US$ 70/ton.
Ini merambat ke semua sektor. Apalagi ekonomi Indonesia sangat bergantung kepada komoditas, lebih tepatnya komoditas mentah. Konsumsi masyarakat secara keseluruhan juga turun ke level 5%. Belum terlalu buruk memang, tapi sudah mulai waspada (seharusnya).
Apalagi pada 2013, ada sedikit guncangan pasar keuangan yang bersumber dari Amerika Serikat (AS). Saat Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), mengumumkan penghentian stimulus dan memberikan sinyal akan adanya kenaikan suku bunga acuan secara agresif. Ini membuat dana asing di negara berkembang kembali ke AS.
Nilai tukar rupiah jadi korban. Investor bawa kembali kabur uangnya dari Indonesia, sehingga rupiah anjlok. Dolar AS pada 2010 masih di kisaran Rp 8.000, lalu berubah jadi Rp 11.000 pada 2013, dan sampai di level Rp 14.000 di tahun berikutnya. Tingkat fluktuasinya juga tinggi.
Konsumsi masyarakat kembali jadi sasarannya. Pelemahan nilai tukar paling terasa bagi masyarakat yang ingin membeli barang elektronik, seperti komputer, laptop dan telepon seluler (ponsel) karena harganya makin mahal. Kemudian juga makanan sehari-hari seperti tempe, karena kedelainya 90% impor.
Dari gambaran di atas terlihat asal muasal penurunan konsumsi masyarakat atau yang bisa juga disebut daya beli. Bila hanya melihat data tiga tahun terakhir, konsumsi masyarakat stagnan di level 4,9-5%.
"Jadi kalau orang bilang daya beli turun, dari 10 tahun lalu iya. Tapi kalau cuma tiga tahun terakhir saya sebut itu stagnan di kisaran 5%," ungkap Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, dilansir detikFinance.
Cerita Belum Selesai
Analisa tersebut masih sangat umum. Belum dapat menjelaskan kenapa pusat perbelanjaan glodok dan WTC Mangga Dua sepi, Lotus dan Debenhams yang tutup serta Hero dan Ramayana yang mulai efisiensi habis-habisan.
Apa iya beralih ke ekonomi digital alias e-commerce?
Chatib Basri memberikan penjelasan sederhana, namun tetap kuat sebagai indikator.
Pertama, orang yang mampu terlibat e-commerce atau belanja dengan cara online hanya yang mampu memiliki smartphone alias ponsel pintar. Harganya paling murah berkisar Rp 1.000.000/unit.
Sangat kecil kemungkinan masyarakat dengan pendapatan rendah membeli smartphone demi belanja online. Apalagi untuk kebutuhan pokok saja belum bisa terpenuhi. "Hanya orang pendapatan kelas menengah ke atas yang mampu terlibat," ujar Chatib.
Kedua, belanja online mayoritas menggunakan produk perbankan sebagai alat pembayaran. Baik itu transaksi lewat Anjungan Tunai Mandiri (ATM) maupun kartu kredit.
Data menunjukkan, baru sekitar 36% masyarakat yang bankable artinya memanfaatkan fasilitas perbankan. Kelompok ini mayoritas berada di perkotaan. Maka dapat diartikan fenomena peralihan ke belanja online tidak bisa menjelaskan nasib 64% masyarakat Indonesia lainnya.
Ketiga, belanja online adalah ranahnya anak muda. "Generasi tua itu susah mengerti aplikasi itu, pasti minta tolong anaknya kalau dia mau belanja juga," terangnya.
Kesimpulan selanjutnya, hanya kelompok menengah ke atas, orang yang tinggal di perkotaan dan berusia muda yang beralih ke belanja online. Makanya dari total ekonomi Indonesia, porsi dari sektor ini tak lebih 2%. [dtf,jan]-(Bersambung)
Komentar Anda :