SULUHRIAU, Pekanbaru-Penyebaran virus Corona (COVID-19) mulai terasa oleh petani kelapa sawit. Turunnya daya beli menyebabkan penyerapan sawit menurun.
Ditambah lagi ada 2 pabrik kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang tutup, sehingga panen dari para petani tak terserap.
Senior Advisor Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) Rukaiyah Rafik memprediksi, apabila dalam 4-6 bulan ke depan virus Corona tak kunjung reda, maka akan banyak pelaku di industri sawit yang terdampak.
"Ini tantangan terberat bagi petani, jika pandemi sampai 4-6 bulan ke depan, yang terjadi adalah ekspor akan melambat, tangki penampungan CPO (crude palm oil) akan penuh, dan yang paling buruk adalah pabrik akan tutup," urai Rukaiyah dalam diskusi online Dampak COVID-19 pada Petani dan Buruh Sawit SPKS, Jumat (24/4/2020).
Menurutnya, skenario terburuk itu berpotensi membuat banyak pekerja di sektor kelapa sawit yang kehilangan pekerjaannya.
"Kalau kemudian itu terjadi maka kebun tidak akan dipanen karena tidak ada pembeli, dan yang akan terjadi selanjutnya adalah, akan banyak yang kehilangan mata pencaharian, para pekerja desa itu. Mulai dari pekerja panen, pekerja pupuk, tukang semprot," terang Rukaiyah.
Saat ini, dampak Corona utamanya sudah menyentuh para petani swadaya yang tak tergabung dalam organisasi kelapa sawit. Sehingga, para petani swadaya ini harus berjuang sendiri dalam menjual hasil panennya.
Pada akhirnya, kelompok tersebut hanya bergantung pada hasil penjualan sawit untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
"Petani swadaya hanya mengandalkan sawit sebagai sumber kehidupan. Ini terancam kekurangan nutrisi.
Mereka hanya berpikir bahwa kalau tidak jual sawit, tidak punya uang, dan saya tidak bisa makan, saya tidak bisa beli beras. Nah ini yang paling rentan di kelapa sawit," ungkap Rukaiyah.
Ia menuturkan, ketika harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit turun saja, ada petani yang hanya memakan mi instan untuk sarapan, makan siang, hingga makan malam. Apalagi jika hasil panen yang terancam tak terserap.
"Saya pernah melihat petani sawit itu punya lahan 2 hektare (Ha), ketika harga turun itu hanya makan Indomie, itu saja dibagi 3, pagi, siang, sore, malam. Sarapan pagi ya Indomie. Jadi itu betul-betul mengkhawatirkan kalau ini terjadi," imbuh dia.
Menurutnya, petani swadaya memang merupakan korban Corona terdepan dibandingkan petani lainnya. Pasalnya, penyerapan hasil panen petani swadaya ini bukan jadi prioritas pabrik.
Sementara itu, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) Yusro Fadil menuturkan, buruh sawitlah yang lebih rentan akan kelaparan. Pasalnya, buruh ini tak memiliki lahan seperti para petani.
"Bahkan istilahnya mereka ini lebih baik mati karena Corona, daripada mati karena kelaparan.Karena kondisi hari ini ada beberapa daerah itu sangat berpotensi sekali mereka tidak makan. Kalau petani sawit masih aman, tapi buruh sawit ini yang akan terganggu," urai Yusro.
Dalam kesempatan yang sama, Sekjen SPKS Mansuetus Darto mengungkapkan, sulitnya akses pangan bagi petani dan buruh sawit karena tak ada lagi lahan yang tersisa untuk ditanami pangan. Semuanya sudah dikonversi ke perkebunan sawit.
"Temuan-temuan kita di lapangan petani sawit itu sudah tidak punya pangan. Dulunya mereka punya sawah atau ladang, kemudian dikonversikan menjadi kebun sawit," jelas Darto.
Padahal, di era pemerintahan Presiden ke-2 RI yaitu Soeharto, para petani dan buruh sawit akan disediakan lahan untuk menanam tanaman pangan sehingga akses terhadap kebutuhan pokok tersebut tersedia.
"Di program Soeharto tahun 1980-an, ada kemudian memberikan kebun plasma 2 hekatare (Ha), dan juga lahan pangan itu 0,75 Ha. Tetapi saat ini kalau kita berkunjung ke desa-desa transmigran sawit, itu semua beralih ke sawit.
Tentunya bahwa situasi COVID-19 sekarang, itu bagi petani-petani sawit, termasuk petani transmigran sawit itu terancam kelaparan kalau misalnya pangan mereka tidak tersedia," pungkas Darto.
Editor: Jandri
Sumber: detik.com
Komentar Anda :