SULUHRIAU- Bung Karno dikenal piawai dalam merangkai kata. Surat-surat cinta Bung Karno pada istri-istrinya membuktikan sisi romantis Bung Karno.
Rayuannya yang dituangkan di surat cinta yang berlembar-lembar membuat wanita yang diincarnya bertekuk lutut. Berikut cuplikan surat cinta sang proklamator.
Ratna Sari Dewi
Naoko Nemoto atau Ratna Sari Dewi, wanita berkebangsaan Jepang yang dinikahi Sukarno. Ia lahir di Tokyo, 6 Februari 1940, Ratna menikah dengan Bung Karno pada usia 19 tahun.
Ia bertemu Bung Karno di Imperial Hotel, Tokyo. Sebelum menjadi istri Soekarno, Dewi adalah seorang geisha.
“Jika saya mati, kuburlah saya di bawah pohon yang rindang. Saya memiliki seorang istri, yang saya cintai dengan segenap jiwa saya. Namanya Ratna Sari Dewi. Jika dia meninggal, kubur dia di kuburanku. Aku ingin dia selalu bersamaku,” surat yang ditulis Bung Karno tanggal 6 Juni 1962.
Bung Karno kepada Ratna juga pernah menulis surat, “Jadilah sumber kegembiraan bagi saya. Kebahagiaan saya, sumber kekuatan saya, jadilah sumber inspirasi," ujar Roso Daras penulis buku "Sukarno Sejarah yang Tercecer".
Surat lain menceritakan saat Bung Karno sedang sidang kabinet, "Secara fisik, saya ada di sini dalam sebuah pertemuan kabinet, tapi hati saya bersamamu," tulisnya.
Dalam wawancaranya dengan Japan.co, Ratna mengatakan masih menyimpan surat-surat Soekarno yang dialamatkan padanya.
"Saya memiliki 500 surat yang kini disimpan dengan baik di sebuah bank," kata Dewi.
Fatmawati
Berikut surat cinta Bung Karno kepada Fatmawati. "Kamu adalah cahaya di mataku. Kamu yang akan mengizinkanku melanjutkan perjuangan beratku."
"Dari ribuan perawan di dunia. Aku memuliakanmu sebagai dewi. Aku memujamu dengan nyanyian yang mulia, bunga dan sebanyak kemenyan hatiku".
Fatmawati adalah putri seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu yang menikah dengan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1943.
Hartini
“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir."
Ia juga menerima telegram dari Bung Karno, sebaris untaian kalimat yang indah. "Saat pertama kali melihatmu, hatiku bergetar. Mungkin Anda juga merasakan hal yang sama."
Cerita itu tertuang di buku biografi "Srihana-Srihani Hartini Sukarno:". Bung Karno sangat terkesan dengan kecantikan Hartini. Ia juga mengaku jatuh cinta pada Hartini pada pandangan pertama.
“Tien, saya tidak bisa bekerja tanpamu. Padahal kamu istri kedua saya, kamu tetap istri sah saya. Sekalipun tidak tinggal di Istana Negara, Anda tetap menjadi ratu. Anda akan menjadi ratu tanpa mahkota di Istana Bogor,” tulis Bung Karno.
"Haryatie Soekarno, The Hiden Story, hari hari bersama Bung Karno" memuat surat-surat cinta Bung Karno pada Haryatie
Roso Daras juga mencuplik surat cinta itu dalam tulisannya. Surat cinta ini ditulis 31 Agustus 1963, ditujukan kepada Hariyatie, yang dinikahinya 21 Mei 1963. Hariyatie masih tinggal di rumah Jl Madiun, Menteng – Jakarta Pusa.
Surat itu terdiri atas dua lembar. Pada sisi kertas ditulis miring, Bung Karno menulis “Bali saka hotel, ora bisa turu, njur nulis layang iki” (Pulang dari hotel, tidak bisa tidur, lantas menulis surat ini). Surat kepada Harijatie banyak dituang dalam bahasa Jawa.
Yatie adikku wong ayu,
Iki lho arloji sing berkarat kae. Kulinakna nganggo, mengko sawise sesasi rak weruh endi sing kok pilih: sing ireng, apa sing dek mau kae, apa karo-karone? Dus: mengko sesasi engkas matura aku (Dadi: senajan karo-karone kok senengi, aku ya seneng wae).
Masa ora aku seneng! Lha wong sing mundut wanodya pelenging atiku kok! Aja maneh sekadar arloji, lha mbok apa-apa wae ya bakal tak wenehke.
Tie, layang-layangku ki simpenen ya! Karben dadi gambaran cintaku marang kowe kang bisa diwaca-waca maneh (kita baca bersama-sama) ing tembe jen aku wus arep pindah-omah sacedake telaga biru sing tak ceritake dek anu kae.
Kae lho, telaga biru ing nduwur, sak nduwure angkasa. Coba tutupen mripatmu saiki, telaga kuwi rak katon ing tjipta! Yen ing pinggir telaga mau katon ana wong lanang ngagem jubah putih (dudu mori lho, nanging kain kang sinulam soroting surya), ya kuwi aku, — aku, ngenteni kowe. Sebab saka pangiraku, aku sing bakal ndisiki tindak menyang kono, — aku, ndisiki kowe!
Lha kae, kembang semboja ing saknduwure pasareanku kae, — petiken kembang iku, ambunen, gandane rak gandaku. Dudu ganda kembang, nanging sawijining ganda kang ginawe saka rasa-cintaku. Sebab, oyote kemboja mau mlebu ing dadaku ing kuburan.
Masmu
(tanda tangan Soekarno)
Terjemahannya :
Yatie, adikku yang ayu,
Ini lho, arloji bertahta emas itu. Biasakan memakai, nanti setelah sebulan kamu akan tahu mana yang hendak dipilih, yang hitam atau yang satunya, atau keduanya? Jadi, nanti sebulan lagi, bilanglah (walaupun suka keduanya, aku senang juga).
Masakan aku tidak senang, lha yang meminta saja wanita jantung hatiku! Jangankan sekadar arloji, minta apa pun akan aku beri.
Tie, surat-suratku ini tolong disimpan ya! Supaya menjadi gambaran cintaku kepadamu, yang bisa dibaca-baca lagi (kita baca bersama-sama) pada suatu saat nanti, kala aku mau pindah-rumah di dekat telaga biru yang saya ceritakan ketika itu.
Itu lho, telaga di atas, di atasnya angkasa. Coba kau pejamkan matamu sekarang, maka kau akan bisa membayangkan telaga itu! Kalau di tepian telaga tadi tampak lelaki berjubah putih (bukan kain kafan lho… tetapi kain yang bersulamkan pancaran sinar matahari), ya itu aku, –aku, menunggumu. Sebab dari perkiraanku, aku yang bakal mendahului pergi ke sana, aku mendahuluimu!
Lha itu, kembang kamboja di atas nisanku, petiklah kembang itu, ciumilah, maka kamu akan rasakan aroma tubuhku. Bukan aroma bunga, tetapi sebuah aroma yang tercipta dari rasa-cintaku. Sebab, akar kamboja itu menusuk menembus dadaku, di dalam kuburan sana.