Polemik Perpres Investasi Miras Dinilai Konsekuensi UU Cipta Kerja
Selasa, 02 Maret 2021 - 09:17:29 WIB
SULUHRIAU - Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie angkat bicara terkait Perpres No 10 Tahun 2021 tentang Bidang Penanaman Modal yang di antaranya mengatur mengenai investasi industri minuman keras yang telah menimbulkan polemik di tengah publik.
”Polemik Perpres No 10 Tahun 2021 ini merupakan konsekuensi dari proses penyusunan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dalam proses penyusunannya tahun lalu banyak disoal oleh publik,” kata Tholobi dalam siaran pers yang diterima oleh MNC Portal Indonesia, Selasa (2/3/2021).
Menurut dia, dampak nyata dari keberadaan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini memberi implikasi nyata dalam aturan turunan di bawahnya. Ia membandingkan UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang melahirkan aturan turunan Perpres No 44 Tahun 2016 dengan UU No 11 Tahun 2020 dengan aturan turunan Perpres No 10 Tahun 2021.
Sehingga dari dua aturan turunan tersebut terjadi perbedaan signifikan, khususnya dalam menempatkan industri minuman keras mengandung alkohol. Jika di Perpres No 44 Tahun 2016 masuk klasifikasi daftar bidang usaha tertutup, sedangkan Perpres No 10 Tahun 2021, industri minuman keras mengandung alkohol masuk kategori daftar bidang usaha persyaratan tertentu.
Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini menyebutkan dalam Pasal 6 Perpres No 10 Tahun 2021 disebutkan semua jenis penanam modal diperbolehkan investasi di jenis usaha ini dengan persyaratan penanaman modal untuk Penanam Modal dalam negeri.
Kemudian persyaratan penanaman modal dengan pembatasan kepemilikan modal asing dan persyaratan dengan perizinan khusus.”Persyaratan untuk penanaman modal industri miras ini dibatasi pada wilayah tertentu yakni Bali, NTT, Sulawesi Utara, Papua dan dimungkinkan daerah lain dengan syarat ditetapkan Kepala BPKM atas usulan gubernur,” urainya.
Terkait dengan polemik yang muncul dari Perpres No 10 Tahun 2021 ini, yang juga disoal oleh sejumlah fraksi di DPR, Tholabi berpendapat hal tersebut dikarenakan kurangnya pengawasan dari DPR dalam penyusunan aturan turunan sebuah undang-undang.
”Fungsi pengawasan yang dimiliki DPR khususnya dalam urusan legislasi eksekutif sangat lemah,” ungkapnya.
Padahal, kata dia, penyusunan aturan turunan oleh eksekutif merupakan bagian tak terpisahkan dari kerja pemerintah yang harus diawasi oleh DPR dan ini amanat konstitusi. Kritik sejumlah fraksi di DPR menunjukkan kerja eksekutif dalam urusan legislasi khususnya dalam membentuk aturan pendelegasian yang notabene amanat UU tidak berjalan.
”Kami mendorong ke depan perlu diatur mekanisme pengawasan DPR secara rigid terhadap pemerintah dalam penyusunan aturan turunan dari sebuah UU,” sarannya.
Di bagian lain, Tholabi menyebutkan polemik Perpres No 10 Tahun 2021 ini harus tetap ditempatkan dalam perdebatan konstitusional, untuk mengurangi perdebatan publik yang kontraproduktif.
Ketentuan yang mengatur mengenai investasi di industri minuman keras dapat diujimateri ke Mahkamah Agung (MA).”Kami menyarankan perdebatan mengenai Perpres No 10 Tahun 2021 ini dapat diujimaterikan di Mahkamah Agung (MA). Meski, harus dicatat, keberadaan Perpres ini merupakan perintah dari UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” tutupnya.
Mengenai substansi dalam Perpres tersebut, terutama mencermati reaksi kelompok agamawan atas terbitnya Perpres ini, Tholabi berpendapat ketentuan mengenai investasi di industri minuman keras yang mengandung alkohol agar ditinjau ulang oleh pemerintah.
"Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik itu harus berpijak pada filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Nah, dari perspektif tersebut Perpres No 10 tahun 2021 ini menimbulkan kontradiksi," tegasnya.
Sumber: okezone.com
Editor: Jandri
Komentar Anda :