17 Keluarga Korban SJ-182 Gugat Boeing ke Pengadilan Internasional, Paparkan Bukti Baru
Kamis, 20 Mei 2021 - 21:07:31 WIB
SULUHRIAU- Sebanyak 17 keluarga korban kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182 menggugat Boeing ke Pengadilan Tinggi King County di Negara Bagian Washington, Amerika Serikat.
Gugatan tersebut seiring dengan keluarnya penyelidikan Federal Aviation Administration (FAA) AS yang mengeluarkan Airworthiness Notification untuk pesawat Boeing 737-300, 400, dan 500 series berdasarkan informasi yang dipelajari dalam penyelidikan kecelakaan Sriwijaya Air Flight SJ 182.
Sebagaimana diketahui, pesawat jenis Boeing 737-500 jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021. Insiden tersebut menewaskan 62 orang penumpang dan awak pesawat.
FAA menemukan bahwa kegagalan kabel syncho flap mungkin tidak terdeteksi oleh komputer auto-throttle. Cacat ini dapat mengakibatkan hilangnya kendali atas pesawat.
Investigasi awal oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi Indonesia (KNKT) menunjukkan adanya dorongan asimetris dari mesin sebelum SJ 182 menukik fatal.
Secara spesifik, throttle kiri berkurang sementara throttle kanan tidak. Sedangkan FAA menyatakan kecil kemungkinan kecelakaan itu terjadi karena akibat langsung dari kegagalan kabel syncho, itu terlalu dini untuk menarik kesimpulan yang pasti.
Laporan awal KNKT menunjukkan bahwa gaya dorong asimetris membuat pesawat terguling dan menukik. Pesawat menukik lebih dari 3.000 meter dalam waktu kurang dari satu menit.
Antara Kamis 20 Mei 2021 19:56
Gugatan Keluarga Korban SJ-182 yang diwakilkan Herrmann Law Group, yang diajukan ke Pengadilan Tinggi King County menyatakan Boeing bersalah.
Gugatan itu menuduh Boeing gagal memperingatkan maskapai penerbangan dan pengguna lainnya tentang cacat pada throttle otomatis, dan bahayanya memarkir pesawat selama beberapa bulan.
Pada tahun 2000, FAA menyadari adanya kecacatan dan memerintahkan operator pesawat 737 untuk mengganti komputer throttle otomatis setelah adanya laporan daya dorong yang tidak seimbang. Enam tahun kemudian, dalam dua penerbangan terpisah, auto-throttle pada 737 pesawat secara misterius gagal saat pesawat mendekati bandara untuk mendarat.
Dalam kedua kasus tersebut, pilot dapat memulihkan keadaan dan terhindar dari kecelakaan. Namun, pada tahun 2009, sebuah Boeing 737-800 milik Turkish Airlines jatuh saat mendekati Bandara Amsterdam ketika throttle otomatis tidak berfungsi. Sembilan penumpang tewas.
Empat tahun kemudian, pada 6 Juli 2013, sebuah Boeing 777 jatuh saat mendekati Bandara Internasional San Francisco ketika throttle otomatis gagal mempertahankan kecepatan. Tiga penumpang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Penyelidik Dewan Transportasi dan Keselamatan Nasional menemukan bahwa Boeing gagal memberikan peringatan dan instruksi yang jelas mengenai throttle otomatis.
Pada hari-hari menjelang penerbangan fatal SJ 182, pilot melaporkan adanya masalah dengan throttle otomatis. Penyidik KNKT Nurcahyo Utomo mengatakan, "Ada laporan kerusakan di auto-throttle beberapa hari sebelumnya kepada teknisi di maintenance log, tapi kami belum tahu jelas apa masalahnya.” Baik Perekam Data Penerbangan ("FDR") dan Perekam Suara Kokpit ("CVR") telah didapatkan dan sedang dianalisis oleh KNKT.
Sebagai produsen pesawat, Boeing memiliki kewajiban berkelanjutan untuk memperingatkan dan menginstruksikan maskapai penerbangan tentang bahaya yang diketahui atau perlu diketahui oleh produsen terkait pesawat tersebut.
"Ini adalah masalah keamanan bagi seluruh dunia," kata Mark Lindquist, pengacara utama kasus Herrmann Law Group. "Ada lebih dari seribu pesawat 737 terbang di seluruh dunia dan FAA mengakui ada kondisi yang tidak aman terkait dengan komputer auto-throttle tersebut,” jelasnya.
Pesawat SJ 182 diparkir selama sembilan bulan selama pandemi. Pada tahun 2020, FAA memperingatkan maskapai penerbangan dan produsen pesawat bahwa memarkir pesawat selama lebih dari tujuh hari dapat mengakibatkan korosi dan masalah lainnya yang berkaitan.
Herrmann Law Group mewakili 50 keluarga korban di Indonesia dan Ethiopia dalam dua kecelakaan Boeing 737 Max 8 baru-baru ini. Hampir semua kasus tersebut telah berhasil diselesaikan dengan Boeing. Jumlahnya dirahasiakan, tetapi dapat dilaporkan bahwa kasus individu diselesaikan dalam jutaan dolar.
Program komputer, "MCAS," menyebabkan kecelakaan dua pesawat Boeing Max 8. Walaupun Boeing 737-500 milik Sriwijaya tidak dilengkapi dengan MCAS. Ada kesamaan antara kecelakaan Lion Air dan kecelakaan SJ 182, bagaimanapun, Boeing sekali lagi dituduh tidak memberikan peringatan dan pemberitahuan yang memadai tentang bahaya yang diketahui.
"Pengalaman bertahun-tahun mewakili ratusan korban mengungkapkan bahwa ada benang merah dalam sebagian besar kasus bencana udara," kata Charles Herrmann, pemilik Herrmann Law Group.
Sumber: Okezone.com
Editor: Jandri
Komentar Anda :