SULUHRIAU, Pekanbaru- Seiring dengan perayaan imlek tiap tahunnya, masyarakat Tionghoa didukung pemerintah Kabupaten Meranti menggelar perang air atau yang dikenal dengan Cian Cui di Kota Selatpanjang, Riau.
Namun kini kemeriahan cian cui itu sudah tidak bisa dirasakan masyarakat, khususnya warga keturunan Tionghoa di kota sagu itu.
Ini lantaran pandemi covid-19 yang belum juga berakhir. Catatan suluhriau.com, pada tahun 2021 lalu, cian cui tidak digelar saat perayaan Imlek 2572, atau tepatnya 12 Februari 2021.
Waktu itu Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kepulauan Meranti, Wanandi Salim menjelaskan keputusan ini diambil karena kegiatan Festival Perang Air ini merupakan perhelatan yang mengumpulkan atau mengundang kerumunan.
Sehingga dapat dipastikan tahun baru Imlek 2572 tampaknya tidak bisa semeriah tahun-tahun sebelumnya.
"Keputusan itu sudah disetujui setelah Paguyuban Tionghoa Kepulauan Meranti bersama unsur terkait sepakat untuk meniadakan kegiatan Perang Air dan sejumlah perhelatan rutin lainnya, pada rapat koordinasi," ujarnya Minggu 31 Januari 2021 lalu.
Sedangkan tahun imlek 2573 (2022) ini juga masih pandemi, maka Selatpanjang kembali sunyi dari Cian cui, yang sedianya digelar 1 Februari.
Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kepulauan Meranti, Aan Sagu menjelaskan, keputusan ini diambil bersama unsur terkait sepakat untuk meniadakan kegiatan Perang Air dan sejumlah perhelatan rutin lainnya, hanya kegiatan bersipat ibadah saja yang akan dilaksanakan.
Menurutnya, keputusan itu disetujui setelah adanya kesepakatan bersama Kapolres Kepulauan Meranti AKBP Andi Yul Lapawesean S.IK, Kasat Intel Polres Meranti AKP Syaipul, Sekretaris Yayasan Umat Beragama Budha (YSUBB) Tjuan An, Ketua Matakin Djalius, Ketua Majelis Tri Dharma Sakti Handos, serta pihak pemerintah setempat.
Ia menagatakan, keputusan bersama ini diambil sebagai rumusan agar tidak memperburuk situasi. Menurutnya semua pihak harus menahan diri agar wabah ini segera berlalu. Untuk itu perayaan Imlek kali ini tidak semeriah tahun lalu, karena adanya pembatasan.
Sementara itu, Kapolres Kepulauan Meranti AKBP Andi Yul Lapawesean melalui Kasat Intel AKP Syaipul Sabtu 29 Februari 2022 mengatakan, ada sejumlah rangkaian imlek yang ditiadakan selain cian cui, antara lain sembahyang dan pawai Dewa Co She Kong keliling kelenteng, arak-arakan barongsai dan kembang api.
"Pelaksanaan ibadah akan tetap dilakukan di masing-masing kelenteng. Namun harus menerapkan protokol kesehatan," tegas Kasat Intel AKP Syaipul.
Apa itu Cian cui?
Dikutip dari berbagai sumber Cian Cui atau perang air, suatu tradisi unik dalam rangka memeriahkan Imlek di Kota Selatpanjang, Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Cian Cui dilaksanakan selama 6 hari berturut-turut. Masyarakat berkumpul dipinggiran jalan dan sebagian mengelilingi kota Selatpanjang dengan menggunakan becak untuk saling menyiram air dengan menggunakan pistol air atau melempar kantong plastik atau balon yang berisi air.
Awalnya tradisi ini dikenal dengan Perang Air, tetapi mulai tahun 2016 silam dilakukanlah pergantian nama menajdi Cian Cui.
Kabupaten Kepulauan Meranti memang sudah dikenal sebagai pemilik tradisi perang air. Helat ini dipandang unik dan di dunia hanya dilaksanakan di dua negara, yakni di Thailand dengan sebutan Songkran, dan di Indonesia persisnya di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.
Mereka yang terlibat Perang Air di Selatpanjang tak mengenal usia, dan tidak mengenal etnis. Namun lebih ramai dilakukan etnis Tionghoa. Hal ini cukup beralasan, lantaran perang air yang menggunakan pistol air, ember, gayung, plastik air, dan wadah air lainnya, dilakukan warga pada perayaan Imlek.
Salah seorang warga Tianghoa Ationg menyebutkan, dulu warga Tionghoa di Selatpanjang yang merantau dan pulang saat imlek selalu berkunjung ke rumah saudaranya untuk bersilaturahmi menggunakan becak kayuh roda tiga.
Tradisi saling mengunjungi ini, juga dilakukan warga Tionghoa yang masih tinggal di Selatpanjang. Biasanya, dalam satu becak, salain kedua orangtua, juga ada anaknya-anaknya ikut beraya.
Pada saat itu, anak-anak hobi main perang-perangan air menggunakan pistol air, dan setiap berpapasan antara becak satu dengan becak lainnya, anak-anak ini saling menembak satu dengan yang lainnya.
Kebiasaan perang air ini, kata Ationg, tidak hanya terjadi setelah peranyaan Imlek saja namun juga terjadi setelah Idul Fitri, anak-anak selalu terlibat perang air dengan kawan-kawannya.
Sementara itu, Hang Kafrawi, seniman dan budayawan muda Riau asal Meranti mengatakan, kenapa etnis Tionghua masih bertahan melakukan perang air, ada filosofis di balik itu.
Air, setahu Hang Kafrawi dari cerita yang dia peroleh semasa kecil, bagi etnis Tionghua hal ini membawa berkah kedamaian dan kemurahan rezeki. Maka tak heran, setiap Imlek banyak harapan etnis Tionghua terjadinya hujan.
Dan barang kali karena air membawa berkah itu, sehingga perang air dianggap membagi berkah. ”Entah secara kebetulan atau entah apalah namanya, setahu saya setiap Imlek selalu hujan. Kalau tidak hari pertama, hari kedua Imlek terjadi hujan. Hal ini saya ketahui sejak kecil, dan hujan memang diingini saudara kita etnis Tionghua,” kata Hang Kafrawi.
Dari perang air yang dipertahankan dan dilestarikan ini etnis Tionghua ini, kata Hang Kafrawi, mungkin juga sebuah upaya memanggil saudaranya di perantauan untuk pulang kampung ketika Imlek. Dengan pulang kampung dan bermain perang-perangan, menjadi nilai tersendiri bagi mereka di rantauan mengenang masa lalu.
Terkait masalah perang air ini, Hang Kafrawi tidak mau ”menjatuhkan vonis” milik salah satu etnis tapi dia lebih berharap pemerintah daerah, provinsi, dan pusat lebih jeli memandang helat tahunan ini sehingga menjadi ivent yang lebih besar lagi.
Tradisi perang air (cian cui) ini kini jadi aset wisata Meranti. Banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Meranti saat adanya perang air ini.
Cian Cui kata mantan Bupati Meranti Irwan sebelumnya, sama sekali bukan ritual agama, tetapi merupakan kebiasaan dari masyarakat Meranti tempo dulu dalam menyemarakan Hari Raya Idul Fitri dengan melakukan siram-siraman air, berangkat dari kebiasaan itu diadopsi oleh masyarakat Tiong Hoa dengan Perang Air atau yang dikenal dengan Cian Cui seperti yang ada belakangan ini.
Perang Air merupakan kegiatan kegembiraan seluruh warga Kepulauan Meranti, baik yang berasal dari suku Melayu atau Suku Tionghoa dan suku lainnya. Semuanya berbaur menjadi satu berhembira menikmati suasana Perang Air yang hanya dilaksanakan sekali dalam setahun.
"Perang Air ini tidak ada kaintannya dengan agama apapun apakah Budha, Konghucu, Perang Air merupakan kebiasaan warga Selatpanjang yang dimainkan pada dua hari raya yakni Idul Fitri dan Imlek namun seiring dengan berjalannya waktu Perang Air pada perayaan Imlek jauh lebih meriah dan tiap tahun semakin ramai," jelasnya semasa Irwan menjabat Bupati Meranti.